25 - Forever (End)

12K 642 218
                                    

Ps : agak sulit kalau nyesuain perbedaan waktu antara Gabriel-Pricilla yang di Dubai dan karakter lain yang tetep di Manhattan. Jadi ya, just enjoy the story ya? Maafkan kalau agak menganggu. Di sini waktunya aku sama-ratakan, karena nggak begitu pengaruh sama jalan cerita masing2 juga kok :) hope u guys understand.

__o0o__

Gadis berbalut seragam pelayan itu tengah membersihkan permukaan meja yang ada di sebelah kaca café. Wajahnya datar, tak menunjukkan semangat yang berarti walau hari ini langit tampak cerah dan cuaca tak semurung biasanya. Pagi ini ia dibangunkan oleh kicauan burung-burung dan seharusnya itu bisa mengawali harinya dengan baik.

Tapi kenyataannya tidak. Perasaannya tidak begitu baik dan tidak ada hal yang mampu mengubah perasaannya menjadi membaik.

Ponselnya tiba-tiba berdering dalam saku seragamnya. Setelah memastikan tak ada pengunjung yang harus dilayani, ia menerima panggilan itu—bahkan tak berniat melirik nama yang tertera di layar ponselnya—

"Hallo." Sapanya dengan suara datar

"Kenapa murung?"

Sudut bibir Ify sedikit melebar mendengar suara itu, "sok tahu."

"Aku selalu tau, Fy. Aku punya insting yang bekerja baik kalau tentang perempuan yang aku cintai."

Ify memutar bola matanya walau tak bisa menahan senyumnya menanggapi ucapan Rio yang kelewat merayu itu.

"Nah, itu baru Ify. Kamu seharusnya senyum kayak gitu dari tadi."

"Sok tahu lagi, emang kamu liat aku lagi senyum?"

"Aku percaya sama instingku."

Kali ini Ify benar-benar tertawa. Ia belum sempat menjawab ucapan Rio ketika ia mendengar sebuah suara bunyi gemerincing bel pintu—seseorang baru saja masuk ke dalam kafe. Ia buru-buru mengakhiri telepon tanpa sempat mengucapkan pamit pada Rio, ia bisa menghubungi pemuda itu nanti. Tugas memanggil.

Ify menyambar buku menu dan buku catatan kecil yang biasa ia gunakan untuk mencatat pesanan. Ia berbalik untuk mencari tempat pengunjung yang telah diisi. Dan ia membeku setelahnya. Wanita berpakaian sederhana—tak terlalu mencolok—itu membuat jantungnya seperti habis dipacu, tangannya memeluk buku menu erat-erat dan dengan langkah yang sangat pelan ia mendekat.

"Selamat pagi, Anda mau pesan apa?"

Mata hitam kelam itu menatapnya, datar. Tidak hangat namun juga tak tampak sinis, Ify tak bisa mengartikan tatapan apa itu. Apakah membenci atau... yang lainnya?

"Kopi hitam, tanpa gula, sedikit krimer." Ucapnya tanpa menyentuh buku menu yang disodorkan Ify.

"Baik." Gadis itu dengan sigap mencatat dengan tumpuan buku menu, sadar betul tangannya sedikit gemetar dan tulisannya tak serapi biasanya, "silahkan tunggu beberapa menit." Gadis itu berbalik, siap menuju dapur ketika tiba-tiba wanita itu menyela langkahnya.

"Apa Rio hubungi kamu pagi ini?"

Ify menelan ludahnya, nampaknya niatnya untuk bersembunyi di balik pintu dapur akan ia kubur lantaran suara yang terdengar tak begitu ramah itu membuat kakinya mendadak beku. Ia berbalik dan menatap manik mata pekat Ibu Rio. Ia tak tahu harus berkata apa, ia tahu ia kasar, tapi ketika ia pergi meninggalkan wanita itu, Ify belum menjawab pertanyaannya.

Beberapa menit kemudian, dua cangkir dengan kepulan asap di atasnya itu berada di antara mereka, belum tersentuh sama sekali sejak dibawakan Ify limabelas menit yang lalu. Tangannya berpangku di atas paha, jemarinya saling menngait satu sama lain dan terkadang bergerak-gerak gelisah.

THE LOST SEASON (Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang