Tubuh Shilla terasa segar setelah ia membiarkan tubuhnya tersiram dari bawah air terjun itu. Lucu, tapi ia merindukan air. Danau ini benar-benar bagai oase untuk mereka bertiga. Shilla memakai kembali pakaian lengkapnya dan melangkah keluar, hendak ikut bergabung dengan Cakka dan Lara yang sudah lebih dulu makan.
Tapi langkahnya berhenti begitu mendengar keduanya tampak berbincang. Shilla tidak ingin menguping, sebenarnya ia ingin pergi. Tapi rasa penasaran itu muncul saat ia mendengar namanya disebut-sebut oleh suster itu.
"Sebenarnya apa hubungan kamu sama Shilla?" Tanya Lara, tidak ada nada menuntut untuk dijawab.
Shilla bersandar resah di sebuah batang pohon besar, menantikan jawaban dari Cakka. Sebenarnya apa hubungan mereka? Atau... masihkah ada hubungan di antara mereka sebenarnya?
"Nggak ada."
Shilla menelan bongkahan pahit yang menyumbat tenggorokannya. Bodoh! Memangnya apa yang ia harapkan? Bukankah jawaban Cakka itu benar?
"Kalian terlalu dekat untuk disebut nggak ada hubungan." Ujar Lara lagi, "Aku lihat kalian gandengan, aku lihat kalian semalam duduk berdua di batu, aku lihat bagaimana ketakutan kamu saat Shilla ada di pinggir jurang itu."
Cakka ketakutan?
Shilla menggigit bibirnya mendengar ucapan Lara. Apa yang ditakutkan Cakka saat Shilla ada di pinggir jurang itu? Apakah Cakka... takut kehilangan dirinya?
"Maaf, just saying. Aku nggak berhak ikut campur." Lara tersenyum pada Cakka.
Shilla menghela nafas kemudian melanjutkan langkah untuk bergabung dengan keduanya, bersikap seolah ia tidak mendengar apapun.
"Kira-kira kapan mereka bakal nemuin kita di sini?" Gumam Lara mendongak menatap langit, beberapa kali mereka menemukan helikopter melintas. Berusaha berteriak, atau memberi sinyal dengan dahan-dahan pohon. Tapi sepertinya tidak ada yang menyadari keberadaan mereka di sana.
"Ya, aku bisa gila kalau harus hidup kayak Jane dan Tarzan." Sahut Shilla menggigit buah beri yang sepertinya ditemukan oleh Lara.
"Di sana ada lahan kosong, gue udah buat tanda. Kalau kita beruntung, mereka akan lihat tanda itu." Ujar Cakka beranjak berdiri.
"Mau kemana?" Tanya Shilla
"Memastikan kita punya tempat menginap malam ini."
"Kita bakal nginap di sini malam ini? Apa mereka nggak akan nemuin kita hari ini?" Shilla menggerutu kesal, kulitnya sudah merah-merah terlalu sering terbakar matahari dan rambutnya sudah agak kusut. Shilla bahkan tidak berani mencium aroma tubuhnya, kalau saja mereka tidak menemukan danau itu.
"Buat berjaga." Ujar Cakka kemudian melangkah pergi.
"Hati-hati, Cakka." Peringat Lara.
Shilla menatap Lara, melihat bagaimana gadis itu begitu peduli pada Cakka. Shilla selalu menganggap gadis itu hanya melakukan apa yang menjadi tugasnya sebagai suster. Beberapa kali Shilla melihat Lara dan Cakka tampak berbincang sambil gadis itu merawat luka di lengan Cakka.
Tampak seperti kisah romansa klasik antara suster dan dokter, dan... sial, itu terlihat romantis sekali.
"Kupikir kalian punya hubungan khusus." Ujar Lara sepeninggal Cakka, tersenyum menatap Shilla.
Shilla hanya meringis dan menggeleng pelan, tanpa bersuara.
"Cakka adalah dokter termuda yang pernah ada di rumah sakit tempatku kerja. Hampir semua rekan kerjaku, suka sama Cakka."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LOST SEASON (Book 2)
FanfictionSeandainya dulu ia tidak bertahan pada Gabriel, seandainya dulu ia menerima orang lain selain Gabriel, seandainya dulu ia memilih mendengarkan orang lain, dan... mungkin seharusnya memang Shilla menerima Cakka hari itu, Tapi kalau begitu kejadiannya...