As promised. Chapter 1 is here.
Enjoy,
And have a nice rest of the day, bitches!
--------------------Ibu ku selalu mengatakan aku terlalu mungil untuk gadis seumuran ku, jadi ia selalu mengatakan aku harus bisa menjaga diri ku lebih keras daripada gadis-gadis normal lainnya. Tidak seperti aku memiliki banyak ancaman, sejak aku jarang sekali keluar dari rumah, well, mungkin lebih tepatnya aku jarang diijinkan untuk keluar dari rumah oleh orang tua ku, satu-satunya saat aku keluar adalah saat keluarga ku pergi ke gereja, atau apapun yang berkaitan dengan gereja.
Aku memiliki 2 kakak laki-laki yang sangat overprotektif pada ku. Kakak ku yang tertua, Michel, saat ini ia sedang menjalani pendidikan teologi di Baylor University, Texas. Kakak ku yang kedua, Yesaya, well, dia tidak begitu fanatik, dia mengambil jurusan normal seperti art, walaupun memang masih sangat beragama, di Covenant College, Georgia. Lalu datanglah kepada ku, tidak hanya aku anak bungsu, aku juga kebetulan seorang perempuan, yang sangat tidak beruntung karena memiliki badan mungil, jadi aku mendapat banyak cegahan untuk melakukan banyak hal dari anggota keluarga ku. Itu termasuk memiliki kehidupan sosial diluar wilayah gereja.
Aku homeschooling sampai kelas 8, dan maksud ku dengan homeschooling adalah benar-benar homeschooling dimana guru ku adalah orang tua ku, lalu aku cukup beruntung orang tua ku memutuskan untuk mengirim ku keluar rumah untuk melanjutkan pendidikan ku, hanya saja sekarang mereka mengirim ku ke asrama beragama dan khusus perempuan.
Aku, literally, tidak pernah, memiliki interaksi, dengan pria normal. Seorang pria yang membicarakan hal lain selain Tuhan, gereja, dan keluarga mereka. Apa kau tahu bagaimana menyebalkannya hal itu? Bagaimana tepatnya aku bisa menghadapi dunia nantinya kalau aku sama sekali tidak pernah dihadapkan dengan dunia yang sebenarnya?
Jadi, aku melakukan sedikit pemberontakan saat saatnya aku akan memilih jurusan kuliah dan universitas. Mereka menginkan ku masuk ke sekolah kesusteran di entah berantah, sementara aku, aku ingin memiliki kehidupan dan menempuh pendidikan di tempat yang normal. Ini hanya kesempatan sekali seumur hidup. Aku tidak akan melewatkannya. Jadi aku untuk pertama kalinya memberontak dan mati-matian keras kepala memaksa orang tua ku untuk mengirim ku ke New York karena aku ingin mengambil jurusan politeknik. Aku tidak menerima jawaban tidak. Mereka berpikir aku semacam kerasukan saat aku mengatakan hal itu, tapi aku mengatakan tentu saja tidak, aku hanya seorang remaja normal yang ingin memiliki kehidupan yang juga normal, aku memberitahukan mereka kalau dunia yang sebenarnya lebih luas dari yang hanya di sekitar ku, aku juga mengatakan pada mereka, dengan banyak kata memohon, kalau sebelum ini, aku tidak pernah menolak atau meminta apapun pada mereka, ini adalah satu-satunya keinginan ku yang aku minta. Pada akhirnya, aku menang, dan mereka mengirim ku untuk kuliah di NYU setelah aku menunjukkan pada mereka surat penerimaan ku. Itu adalah hari terbahagia ku sepanjang 17 tahun aku hidup. Sungguh, tidak berbohong.
Setelah 17 tahun selalu hidup dalam sebuah kurungan, aku akhirnya bisa bebas. Aku akhirnya bisa bergabung dengan dunia yang nyata. Dan apapun yang akan dunia lemparkan pada ku, aku akan menerimanya dengan tangan terbuka. Karena aku akhirnya bisa hidup. Akhirnya.
🦄🦄
Semua hal itu terasa sudah lama yang lalu, saat sebenarnya, hal itu baru terjadi 7 bulan yang lalu. Jujur saja, aku tidak merindukan rumah ku, aku tidak merindukan orang tua ku, aku tidak merindukan apapun dari rumah. Sepertinya aku sangat bersemangat untuk menjadi independen sampai kehilangan rasa rindu ku. Satu-satunya yang aku rasakan saat ini adalah rasa penasaran dengan teman sekamar ku yang... Ada, tapi tidak ada. Maksud ku, ya, aku memiliki teman sekamar, disini ada barang-barangnya dan segala macam, tapi pemiliknya tidak ada. Aku dengar ia sedang pulang dan mengambil libur satu semester, ada yang mengatakan karena depresi karena kepergiannya begitu tiba-tiba, tapi aku tidak mempercayai rumor tersebut. Dari yang kulihat dari barang-barangnya yang rapih dan... Rapih, dia tidak terlihat seperti seseorang yang pergi tiba-tiba ataupun seseorang yang depresi. Aku pikir ia meliburkan diri karena ia lelah dan membutuhkan istirahat. Bisa saja bukan? Dan aku juga sudah melihat foto-foto dia di media sosial, Abigail, itu nama dia, adalah perempuan yang sangat ceria dan manis, aku tidak percaya ia bisa depresi, itu tidak cocok sama sekali dengan apa yang aku lihat dari foto-fotonya.
Satu bulan kemudian, aku akhirnya bertemu dengan teman sekamar ku secara langsung. Hanya mengatakan dia cantik merupakan tindakan meremehkan. Dia sangat cantik seperti seorang dewi, dia memiliki rambut pirang yang sempurna, lurus, dan terlihat sangat halus, sungguh menutupi kekurangan dia yang lain seperti tinggi dan ukuran badannya yang bukan merupakan harapan para gadis. Tapi dia masih sangat cantik dan menarik walaupun dengan kekurangannya itu.
Aku memberitahunya nama ku dan aku tahu ia sedikit terkejut dengan sikap ku yang terlalu ramah, percayalah aku tahu. Kalau ia akan mengeluarkan pendapat itu, aku tidak akan sakit hati karena itu tidak akan menjadi yang pertama, beberapa murid dikelas mengatakan aku sangat hiperaktif kadang-kadang. Jadi aku tidak akan marah padanya..
Abigail sepertinya sangat baik dan ramah, kita baru bertemu beberapa saat yang lalu, dan aku yakin ia lelah setelah penerbangannya dari rumah, tapi sekarang ia malah mengantar ku keliling kampus, menunjukkan seluk-beluknya.
Ibu ku selalu mengatakan kalau kebaikan seseorang sebaiknya segera dibalas agar tidak menjadi hutang budi, jadi aku melakukan tepat hal itu dan membayari makanan dan minuman kita, aku memberinya alasan kalau teman sekamar seharusnya saling mentraktir, dan sekilas aku melihat ada keterkejutan di matanya. Apa aku mengatakan sesuatu yang salah? Tapi kemudian ia kembali tersenyum lagi seolah tidak ada yang salah, aku hanya tidak mepercayainnya, tapi aku tidak akan mempertanyakannya, karena sejauh ini, hanya dia lah yang baik kepada ku. Abigail kemungkinan menghakimi ku didalam kepalanya, tapi setidaknya ia tidak mengeluarkannya. Tidak apa, di asrama aku diajarkan untuk bersabar dan mengontrol emosi dalam segala situasi.
Pertama kalinya Abigail mengajak ku ke pesta di rumah persaudaraan, aku sangat takut. Aku tidak pernah mendatangi pesta apapun selain yang gereja ku dulu adakan, aku tidak pernah mendatangi pesta seperti ini. Abigail menyakinkan ku pesta ini tidak akan penuh bencana seperti saat api unggun kemarin, kalau pesta ini akan lebih manusiawi. Dan ia benar.
Abigail meninggalkan ku bersama seorang pria bernama John. Aku gugup, aku tidak pernah sedekat ini dengan seorang pria. Aku kembali menoleh pada Abigail, dia sedang bicara dengan pria yang mendatangi kamar kita sebelumnya, pembicaraan mereka terlihat memanas, tapi dalam hitungan detik, semuanya kembali normal.
John mengajak ku untuk melihat-lihat rumah persaudaraan, aku hanya mengangguk, dan ia mentertawai ku mengatakan kalau aku lucu dan sangat manis. Aku panik, bagaimana kalau ia jahat? Bagaimana kalau tiba-tiba memaksakan dirinya pada ku. Lalu ia tertawa lagi, ia memberitahu ku kalau aku kemungkinan berada di tangan teraman di rumah persaudaraan sejak baginya, aku tidak memiliki 'bagian' yang tepat. Aku tidak sebodoh itu. Aku tahu apa maksud perkataannya. Dia menyukai pria. Aku penasaran apa pendapat orang tuanya, apa mereka bahkan tahu? Kalau orang tua John adalah orang tua ku, John sudah akan di kirim ke kemah 'pelurusan' tapi sebelum itu akan memanggil dia hal-hal yang menyeramkan. Orang tua ku adalah dua orang fanatik. Tapi tidak aku. Tidak akan pernah. Agama ada untuk di percayai, bukan dijadikan tameng untuk menghina dan menghakimi. Tidak akan pernah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret Life of The Innocent Daughter (The Secret Life Series #4)
ChickLitDi dunia ini, mempertahankan kepolosan bukanlah hal yang mudah, banyak godaan dan gangguan yang datang silih berganti. Namun, ada satu hal yang bisa membantu mempertahankannya, yaitu iman yang kuat. Hati yang teguh saja tidak cukup, karena kadang, h...