"Apa ini?" Seruku kaget
Aku sontak kaget mendapati isi tasku. Oh bukan! Bahkan tas ini tidak berisi sama sekali. Aku bertanya-tanya dimana barang-barangku? Padahal disana ada barang-barang berhargaku. Dompet, Ipod, headshet, buku, kamera, pokoknya barang-barang aku ada disana. Kecuali ponselku.
Aku mencoba mengecek isi dari ransel itu berkali-kali. Berharap ada sesuatu yang bisa kutemukan.
"Ih! Masak gue salah ambil tas sih?" Gerutuku sambil memperhatikan model ransel itu.
Tapi setelah memperhatikan model tas itu, aku baru menyadari bahwa ada sebuah gantungan kunci disana. Aku melihatnya berharap ada sesuatu yang bisa menjawab kegelisahanku.
Ada sebuah foto berukuran kecil. Foto yang memperlihatkan seseorang sedang mengendarai sepedanya melintasi lintasan down hill. Aku tidak tau siapa yang ada di foto ini. Karena wajahnya tertutup helm. Kemudian aku membalikkan gantungan kunci itu di sisi lainnya. Tertulis kata 'Rafa'. Bukan! Itu bukan kata. Tapi itu nama. Ya, nama anggota baru yang masuk di komunitasku.
"Sialan! Baru sehari dia ikut latihan, tapi udah bikin gara-gara sama gue!" Ava meremas ransel yang ada di genggamannya.
Percuma saja aku marah-marah sendiri. Nggak ada gunanya. Besok aku nggak bisa ketemu dia. Karena jadwal latihanku masih besok lusa. Jadi malangnya, kini aku harus berpisah dengan ranselku beserta isi-isinya.
Kujatuhkan tubuhku ke atas kasur dengan berat. Melemparkan ransel itu entah kemana. Aku tidak peduli dengan ransel itu. Karena sekarang aku sudah tidak sabar untuk marah padanya. Kuakui kalau model ranselku dengan ransel miliknya sama. Tapi kan ranselku tidak ada gantungan kuncinya. Dan tadi dia juga pamit duluan. Otomatis dia yang mengambil ranselku duluan.
Aku meremas kuat. Ingin rasanya aku menonjok lengannya.
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Tanpa melihat siapa yang menelfon, aku langsung menekan tombol answer.
"Apa!" Bentakku
"Belom juga gue ngomong. Lo udah ngebentak gue. Kenapa sih lo? Lagi marah tingkat dewa lagi? Kenapa? Gara-gara Kakak lo yang 'ganteng' itu? Atau gara-gara lo lagi kesambet? Cerita sama gue, Ava!" Ucap suara dari ujung telfon. Tanpa aku melihat siapa nama si penelfon, aku juga sudah tau kalau ini adalah Liona. Sahabatku.
"Gue sebel banget! Baru sehari dia, tapi udah bikin gue marah tingkat dewa!" Ujarku sambil beranjak duduk
"Yang lo maksud disini itu siapa sih, Va? Gue nggak ngerti! Lo tiba-tiba ngomel tanpa seluk beluk yang jelas. Jangan bilang lo mulai sakit jiwaa!" Balas Liona panik
"Siapa bilang gue sakit jiwa? Gue masih waras seribu persen!" Elakku tak mau dianggap sakit jiwa.
"Trus yang lo maksud siapa, Ava?" Tanya Liona tidak sabar
Aku menarik nafas panjang. "Anggota baru di komunitas gue. Baru sehari dia ikut, tapi udah bikin gara-gara sama gue. Masak, tadi waktu gue mau ngeluarin isi ransel, gue nggak nemuin barang-barang gue di ransel itu. Sama sekali. Gue bingung setengah mati gimana kalo isi ransel gue dicolong jambret! Trus gue perhatiin tuh model ransel. Sama kok kayak ransel gue. Tapi, gue tiba-tiba nemuin gantungan kunci di ransel itu. Lo tau kan kalo gue nggak suka pakek gantungan kunci? Nah, gue langsung aja ngeliat gantungan kunci itu. Ada foto cowok disana. Dia lagi naik sepeda. Habis itu gue balik tuh gantungan kunci. Tertulis nama 'Rafa'. Gue nggak sabar mau nonjok dia. Berani-beraninya dia nyari masalah sama gue!" Cerita Ava panjang lebar.
"Wiihh ada anggota baru nih? Ganteng nggak? Kenalin dong! Please!" Pinta Liona tanpa menggubris kekesalanku
"Lo itu ngedengerin cerita gue nggak sih? Gue udah rela cerita panjang, tapi sahutan lo nggak ada yang bener! Bisa-bisa gue juga ikut marah sama lo!" Omelku. Disaat aku sedang marah dengan letupan di puncak ubun-ubun, Liona malah kumat dengan penyakitnya. Ya, apalagi kalau bukan minta dikenalin sama teman komunitasku? Bahkan, dia saja dulu juga ngebet banget minta dikenalin sama Kakakku. Dan sekarang sepertinya kepalaku mau meledak!
"Iih! Iya, sorry sorry. Gue gak maksud. Kan lo ngerti gimana penyakit gue kalau lagi kambuh? Hihi.." Suara Liona terdengar ketakutan mendengar kemarahanku.
"Udah ah! Gue mau tidur aja. Capek banget tadi habis latihan. Bye!" Pamitku dilanjutkan memutuskan sambungan panggilan.
Aku meletakkan ponselku di atas nakas dekat tempat tidurku. Seperti apa yang kukatakan pada Liona sebelumnya, akhirnya aku berbaring untuk mengistirahatkan tubuhku. Memejamkan mata berharap rasa kantuk segera menyerangku.
Menit pertama
Menit ke-4
Menit ke-7
Menit ke-9
"Aarrgh! Kenapa gue nggak bisa tidur?" Teriakku pelan berharap Bibi tidak mendengarnya.
Tapi bagaimanapu caranya, malam ini aku harus tidur cepat.
>>>
Pagi ini aku terbangun dengan badan yang masih sedikit pegal. Rambut yang obrak-abrikan seperti singa. Jangan kalian membayangkan kalau rambutku ini pendek. Karena asal kalian tau, rambutku ini terurai panjang dan sedikit bergelombang di ujungnya. Dan jangan juga bayangkan kalau rambutku ini berwarna hitam. Warna coklat di rambutku ini asli tanpa cat. Itu semua karena rambut Mama ku yang berwarna coklat. Kakakku juga begitu. Bedanya, rambutnya sedikit gelap dibanding rambutku.
Setelah merasa rapi, aku berjalan keluar kamar dengan menenteng ranselku. Menuruni tangga satu persatu menuju meja makan.
"Pagi, Bi!" Sapaku sembari duduk di kursi meja makan
"Pagi, Va! Itu sarapannya udah Bibi siapin." Balas Bibi yang masih terlihat sibuk di dapur
"Bibi nggak sarapan sama aku? Atau Bibi udah sarapan?" Tanyaku kemudian
"Tadi Bibi udah sarapan sedikit kok."
"Beneran lho ya? Kalo gitu Ava mau sarapan sekarang aja. Takut nanti telat."
"Emang mau naik sepeda lagi?" Tanya Bibi sambil menoleh kepadaku
"Ya jelas lah, Bi."
"Nggak capek? Kemarin habis latihan lho?" Seperti biasa, perhatian Bibiku mulai muncul
"Bibi udah kenal aku berapa lama? Kayaknya udah lebih dari 5 tahun." Aku menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutku
"Iya deh, Bibi percaya sama Ava kalau Ava kuat nyepeda sendiri." Akhirnya Bibi mengalah untuk membujukku agar tidak naik sepeda ke sekolah. "Udah cepetan dihabisin sarapannya. Nanti keburu terlambat."
"Siap, Bi! Nanti kalau terlambat juga tinggal naik pagar. Aku kan juga jago manjat tembok sekolah." Jawabku dilanjutkan tawa bangga
Akhirnya sarapanku habis tak tersisa. Aku beranjak dari kursi dan berpamitan pergi. Mengambil sepeda kesayanganku. Aku lebih suka naik sepeda daripada baik kendaraan. Meskipun terkadang dalam keadaan mendesak aku juga mengendarai kendaraanku atau naik kendaraan umum.
>>>
"Ava!" Teriak seseorang ketika aku mengambil buku di lokerku. Suara yang sudah tidak asing lagi. Siapa lagi kalau bukan Liona.
Aku menolehkan wajahku kepadanya dan melambaikan tanganku. Setelah itu aku kembali mengalihkan pandanganku ke dalam loker di hadapanku. Mengambil buku yang aku perlukan untuk pelajaran hari ini.
Buku pelajaran pertama
Buku pelajaran kedua
Buku pelajaran ketiga
Buku pelajaran keempat
Dan, tunggu! Apa ini?
"Aarrggh! Kenapa hidupku dihiasi hal-hal konyol serperti ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Willingness
Teen FictionAva : "Mungkinkah gue jadi separuh hidup lo?" Rafa : "Gue hampir berhasil sebelum semua itu terjadi." Jovan : "Lo yang paling gue sayangi semenjak Mama nggak ada." David : "Lo pelengkap hidup gue." Liona : "Lo sohib tersayang buat gue."...