Ava's POV
Satu tahun kemudian . . .
"Yes! Akhirnya gue bisa lanjut sekolah bareng lo lagi, Va! Yuhuu! Nggak nyangka gue!" Liona yang sedang kegirangan atas keberhasilannya pun melompat-lompat konyol. Aku fikir itu adalah perbuatan yang memalukan. Apalagi, kami sekarang sedang berada di pintu masuk kampus yang akan menjadi tempat kami untuk menimba ilmu selanjutnya.
"Iya-iya. Gue juga seneng bisa sekampus sama lo lagi." Ucapku.
Liona seketika berhenti melompat-lompat, "Seriusan lo juga seneng sekampus sama gue?" Tanyanya tidak menyangka.
"Nggak sih. Gue cuman basa-basi tadi." Jawabku yang membuat raut wajah Liona berubah menjadi cemberut, "Bercanda doang, Li. Gue beneran seneng kok sekampus sama lo." Perjelasku.
Dia memelukku erat, "Ah, lo emang sohib terbaik gue, Va!" Ungkapnya girang.
***
Setelah lulus SMA, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Indonesia. Awalnya Kak Jo menyuruhku untuk kuliah di kampusnya, namun segera aku tolak. Entah mengapa, aku masih ingin menunggu kedatangan seseorang yang entah apakah dia juga masih mengingatku atau tidak.
Satu tahun kulalui begitu saja tanpa kehadiran dirinya. Kami tidak pernah berkomunikasi setelah pertemuan terakhir di bandara waktu itu. Kalau kata orang, dia benar-benar seperti hilang ditelan bumi.
***
Entah ini hanya perasaanku saja atau perempuan itu memang enyah dari kehidupanku. Setelah keberangkatan Rafa kira-kira setahun yang lalu, perempuan itu, Naura, tak pernah menampakkan batang hidungnya lagi. Mungkin karena dia tau jika Rafa sudah tidak lagi menghubungiku, jadi dia memutuskan untuk pergi dari kehidupanku. Karena aku paham kalau dia berfikir bahwa saingannya untuk mendapatkan Rafa sudah hilang, berkurang, dan enyah.
Aku berjalan melewati koridor kampus. Masa orientasi sudah kulalui seminggu yang lalu. Sangat membosankan menurutku. Aku fikir acara itu sungguh tidak penting. Entah apa yang dipikirkan oleh senior-seniorku itu.
Mereka membuat sebuah acara yang, yeah, konyol. Apalagi acara di hari terakhir yang mengharuskan setiap siswa untuk membawa sebuah hadiah. Mereka mengumumkan jika hadiah tersebut digunakan untuk tukar kado. Namun nyatanya, hadiah tersebut hanya diperuntukkan untuk mereka pribadi.
Lebih parahnya lagi, setiap siswa harus memberikan hadiah yang mereka bawa untuk diberikan kepada para anggota panitia favorit. Alhasil, panitia yang memiliki paras rupawan pun menjadi buronan para siswa baru.
Aku yang kala itu tidak ingin berdesak-desakkan untuk memberikan hadiah memilih untuk menitipkannya kepada Liona. Aku pamit kepada panitia untuk ke toilet, tapi kenyataannya menyasarkan diri menuju kantin.
Flashback On
"Daripada gue susah payah ngasih tuh hadiah buat panitia, mending gue disini dah. Makan sambil duduk-duduk santai. Lagipula tuh panitia mau-mau aja gue kibulin." Ucapku sambil meminum es jeruk pesananku. Aku terkekeh sendiri mengingat usahanya untuk kabur yang nyatanya berhasil.
Aku menyantap bakso yang sudah tersaji di hadapanku. Asapnya mengepul serta aromanya yang membuat perutku tambah meronta untuk diisi.
"Woy! Lo ngapain malah makan bakso disini?" Terdengar suara gebrakan di mejaku dilanjutkan dengan pertanyaan yang meluncur dari mulut orang di depanku. Dari suaranya, aku bisa tau kalau dia seorang laki-laki. Segera aku mendongakkan kepalaku untuk melihat pemilik suara tersebut. Aku was-was jika si pemilik suara adalah salah satu panitia MOS.
KAMU SEDANG MEMBACA
Willingness
Teen FictionAva : "Mungkinkah gue jadi separuh hidup lo?" Rafa : "Gue hampir berhasil sebelum semua itu terjadi." Jovan : "Lo yang paling gue sayangi semenjak Mama nggak ada." David : "Lo pelengkap hidup gue." Liona : "Lo sohib tersayang buat gue."...