"Salah apalagi lo sama gue?" Tanyaku yang kini menoleh kepadanya. Buru-buru dia menatap ke depan ketika aku menoleh kepadanya.
"Gue salah. Kesalahan fatal yang harusnya nggak terjadi." Jawabnya penuh penyesalan.
"Ma--" Ucapannya terputus oleh sebuah suaraJujur, suara itu menyebalkan. Gara-gara suara itu, Rafa nggak jadi memberikanku penjelasan yang bisa dimengerti. Ini itu nggantung banget!
"David! Lo bisa nggak sih manggilnya biasa aja! Nggak usah teriak-teriak gitu!" Teriakku balik pada David. Ya, suara yang barusan itu adalah suara milik David.
"Gimana gue nggak biasa! Kalian dari tadi dipanggil dengan halus nggak nyahut-nyahut!" David berbicara. Masak sih aku sama Rafa daritadi dipanggil nggak buru-buru nyahut? Segitu seriuskah omongan kami tadi?
Aku dan Rafa buru-buru berjalan menuju David dan yang lainnya.
"Makanya jangan pacaran lo berdua!" Ledek Jason
"Woi! Siapa yang pacaran? Situ sendiri yang pacaran!" Cerocosku. Aku tidak terima jika Jason meledekku pacaran dengan Rafa
"Udah, kalian berhenti bertengkar dulu!" Suruh David diplomatis. Emang ketua-kami ini bisa sangat tegas pada waktunya. Kalau kami membuatnya kesal, hukuman akan menghantui. Dih, ngeri!
Aku hanya bisa melempar tatapan emosi kepada Jason. Sedangkan Jason tidak menggubris tatapanku sama sekali. Dia hanya tersenyum. Gila emang orang ini.
Konsentrasi kami semua tertuju kepada David yang sedang berbicara. Tak terkecuali Liona. Meskipun dia tidak ikut komunitas kami, tapi dia tetap menghormati David yang sedang berbicara serius. Kata cewek-cewek biasanya sih, bisa dibilang David itu cool banget kalau lagi bicara serius gini.
*
Setelah mendengarkan David dengan seksama, kami semua dipersilahkan untuk pulang. Semua mengambil ransel mereka masing-masing. Tak terkecuali Rafa yang telah mengambil ranselnya sendiri.
Seperti biasa, aku memilih pulang akhir. Liona? Dia meninggalkanku. Katanya dia mau diajak Jason. Bener-bener deh si Jason nyari kesempatan banget. Ngomong-ngomong aku sudah tidak marah lagi dengan Jason. Buang-buang tenaga kalau harus marahan sama Jason.
Semuanya sudah pulang. Terkecuali aku dan David. Abang-abang ini emang suka banget pulang akhir. Ujung-ujungnya ngeledekin aku. Kayaknya dia bakal jadi jelmaan Kak Jovan.
"Ngapain lo masih disini?" Tanyaku to the point sambil melihatnya duduk di sampingku. Sekarang kami berdua duduk bersisihan di atas rerumputan hijau.
"Jagain lo bentar." Mulai kan? Dia ketularan sama Kak Jovan. FYI, dia dapet tugas dari Kak Jo buat jagain aku waktu latihan. Kenapa Kak Jo mempercayakan aku kepada David? Jawabannya karena mereka sahabat karib. Udah itu aja 'kayaknya'.
"Udah deh, nggak usah terlalu nurut sama Kak Jo. Gue nggak papa disini sendiri."
"Salah sendiri lo sakit. Gue kan jadi nggak tega ninggalin lo sendiri." Ujarnya dengan seulas senyum hangat. Mirip dengan Kak Jo.
"Gue udah nggak papa kok. Buktinya tadi gue udah latihan, kan? Lo aja yang nggak percayaan sama gue." Aku mencoba meyakinkan kalau aku nggak papa.
"Masa sih? Coba buktiin!" Senyumnya kini meremehkan keadaanku.
"Lo ngeremehin gue? Fine! Gue buktiin sekarang. Gue bakal lari-lari muterin nih tempat kayak orang gila kalau perlu." Sahutku tidak terima diremehkan
"Ayo! Biar gue lihat. Seberapa kuat lo lari muterin tempat ini."
Ini diluar persepsiku. Yang aku omongin barusan itu hanya kalimat untuk membela diri. Tapi kenapa sekarang dia malah menyuruhku berlari sungguhan? Kalau disuruh jujur, aku memang belum pulih sepenuhnya. Bahkan sebenarnya kalau disuruh lari, aku bakalan terjatuh-jatuh 'mungkin'. Jalan saja sudah mirip siput ngadat. Tapi, bukan Ava namanya kalau nyerah sebelum perang. Kalimatku barusan terlalu tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Willingness
Teen FictionAva : "Mungkinkah gue jadi separuh hidup lo?" Rafa : "Gue hampir berhasil sebelum semua itu terjadi." Jovan : "Lo yang paling gue sayangi semenjak Mama nggak ada." David : "Lo pelengkap hidup gue." Liona : "Lo sohib tersayang buat gue."...