Author's POV
Dengan langkah kakinya yang tidak terlihat buru-buru, Ava menuju tempat yang dia datangi. Taman tepi kota. Disana, dia akan bertemu dengan seseorang. Tebak saja siapa orang itu. Kalau kalian menebak Rafa, ya, mungkin benar.
Pantatnya kini dia layangkan ke atas kursi taman. Namanya taman tepi kota, tentulah tidak terlihat begitu terpelihara dengan baik. Ada beberapa sudut yang tidak terjamah oleh mata jika diamati dari jalan utama. Begitu pun tempat yang kini ditempati Ava. Jauh dari peradaban jalan utama. Hanya ada jalan setapak yang mungkin masih bisa dilalui 1 mobil saja.
"Lama banget dah nungguin ini anak." Celetuk Ava sambil sesekali melihat jam tangannya.
Sudah cukup gelap disini. Hanya ada beberapa penerangan yang membantu untuk melihat sekeliling. Cukup berani juga Ava dalam memilih sudut taman ini. Itu karena dia tidak terlalu suka dengan keramaian yang ada. Hanya membuat pikirannya yang sedang kalut ini makin ruwet.
"Hai." Sebuah tepukan mendarat di pundak Ava. Tepukan dari balik tubuhnya. Mengagetkan saja. Segera dia berbalik untuk tahu siapa tersangka di balik tepukan laknat itu.
Ternyata seorang perempuan berambut panjang. Dengan postur badan yang agak mirip dengan Ava. Sedang tersenyum ramah seakan mereka berdua sudah saling mengenal sejak lama. Silakan tebak siapa dia. Karena kini Ava sedang berusaha untuk mengingat siapa perempuan yang kini berada di hadapannya ini.
"Lo siapa?" Putusnya untuk langsung bertanya. Tidak kuat lagi untuk mengingat siapa perempuan di hadapannya ini.
"Gue Davinda."
"Oh, Davinda. Anaknya Pak RT kompleks sebelah?" Tanya Ava ketika teringat nama anak ketua RT di samping kompleksnya juga bernama Davinda.
"HAH?!"
"Kok HAH?!"
"Kok anak Pak RT?"
"Lah? Anak Bu RT?"
Davinda memutar bola matanya, jengah. Dia kira dengan menyebutkan namanya saja perempuan di depannya akan langsung paham. Tapi, sedetik kemudian Davinda memaklumi. Mungkin karena mereka belum pernah bertemu.
"Bukan," jawab Davinda disertai senyum manisnya, "Gue adiknya Kak David."
Sejurus kemudian, mata Ava terbelalak. Tidak mengira bahwa sekarang ini dia sedang berbicara dengan adik temannya.
"Ga ngibul kan lo?" Tanya Ava memastikan. Takut-takut kalau yang di depannya ini penjahat kelas teri.
Davinda menggeleng sebagai tanda bahwa dia jujur. Menit selanjutnya mereka duduk bersama. Davinda yang terlebih dahulu memulai perbincangan. Mengutarakan tujuan kedatangannya yang terkesan tiba-tiba. Dan di tempat yang tidak terduga.
Rafa's POV
"Sial! Ngapain pake bocor segala nih ban motor. Nyusahin aja." Aku berdecak kesal. Bukannya membantu dengan memberikan performa yang bagus, malah membantu dengan segala ke-riweuh-an yang ada. Ribet. Kenapa tiba-tiba ban motorku bocor coba? Kayak disabotase aja.
Aku segera menghubungi nomor telepon bengkel terdekat. Semoga saja ada bengkel 24 jam disini. Karena tidak mungkin juga aku mendorong motorku sampai ke bengkel. Waktu yang ada sudah tidak memungkinkan. Karena pasti sekarang Ava sedang menungguku di taman. Ya, kami merubah tempat bertemu yang awalnya di rumah gadis itu.
"Halo, Pak bisa datang kesini? Ban motor saya bocor. Di Jalan Kenanga." Akhirnya ada juga bengkel yang bisa kuhubungi. Sekarang tinggal menunggu pegawai bengkel datang kemari. Katanya hanya 10 menit.
Aku pun mengabari Ava jika akan datang terlambat karena ban motorku yang bocor. Semoga dia tidak semakin marah. Meskipun kemungkinan bahwa dia akan memaklumi keadaanku saat ini adalah kecil.
Baru aku mengirimkan pesan ke Ava, ada sebuah telepon masuk. Tertera nama Naura di layar ponselku.
"Ngapain lagi ini orang." Semburku kesal. Ku abaikan saja telfonnya. Kenapa harus mengangkat telfon tidak penting dari orang yang sangat tidak penting? Buang-buang waktu.
Ini sudah dering ke-sembilan kalau aku tidak salah menghitung. Dengan penelpon yang sama, Naura. Setelah putus asa menelponku, akhirnya dia mengirim pesan.
Naura : Gmn rasanya ban bocor pas buru-buru mau ketemu cewe lo? Enak?
Naura : Yakin gamau angkat telpon gw?
Naura : Ntar lo nyesel
Naura : Ydh, semangat jalan kaki sygku
Rafa : Mau apalagi lo?!
Naura : Cuma mau lo aja sih
Rafa : Gabakal gw maafin lo!
Langsung saja aku berlari pergi meninggalkan motorku. Masabodoh! Karena sekarang firasatku sedang sangat tidak enak. Aku sama sekali tidak tahu dengan jalan pikiran wanita iblis itu. Hal bodoh apa yang akan dia lakukan? Dasar psikopat!
Sambil berlari, aku melihat sekeliling. Siapa tahu ada tukang ojek yang masih 'mangkal' malam-malam begini. Dengan sedikit tidak berperasaan, aku melibas semua jalan yang ku lewati dengan penuh amarah dan kekhawatiran yang berkecamuk. Dan akhirnya, aku menemukan pangkalan ojek. Beruntung!
"Bang! Anterin ke taman pinggir kota, Bang!" Semburku sambil menepuk pundak tukang ojek ini tanpa perasaan.
"Waduh! Santai to, Mas. Ada apa emangnya?" Tanya tukang ojek itu sambil bersiap pergi.
Aku yang sudah duduk di belakangnya pun hanya menimpali, "Ayo, Bang! Cepetan! Ada nyawa bidadari yang perlu gue lindungi!" Balasku tanpa memikirkan kalimat yang aku lontarkan.
"Walah bidadari, Mas? Opo masih ada bidadari jaman sekarang?"
"Cepet, Bang! Kalau nggak cepet-cepet, nanti nyawa abang yang akan melayang!"
"Waahh siap, Mas! Ngancamnya mbok ya jangan begitu."
___
Setelah sekian lama hia-lang-tus. Selamat bosan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Willingness
Teen FictionAva : "Mungkinkah gue jadi separuh hidup lo?" Rafa : "Gue hampir berhasil sebelum semua itu terjadi." Jovan : "Lo yang paling gue sayangi semenjak Mama nggak ada." David : "Lo pelengkap hidup gue." Liona : "Lo sohib tersayang buat gue."...