Ava's POV
Aku nggak nyangka. Ternyata Rafa anaknya asik juga. Setelah pertemuan kami di makam beberapa hari lalu, kini aku dan Rafa berteman akrab. Aku cukup kaget ketika mengetahui bahwa Rafa nggak se-dingin yang aku kira. Dia punya banyak teman. Bahkan jika sedang bersama teman-teman kampusnya, Rafa bisa menjadi benar-benar konyol. Bagiku, dia itu orang yang susah ditebak. Awalnya ketus, tapi pas akhir ternyata banyak humor.Tapi, aku sering bertanya-tanya.
*Kalo lo aslinya kayak gini, kenapa dulu waktu awal kenalan, lo sedingin itu? Apa gara-gara wajah gue yang emang nggak seru buat diajak ramah? Lo aneh, Raf. Dulu lo cuman dingin ke gue doang. Dulu gue lo anggep apa di mata lo? Dan sekarang, entah lo habis kesambet apa gue nggak tau. Tapi yang pasti, lo sekarang jadi akrab ke gue. Deket dan akrab*
"Oi, Va! Cepetan naik elaaahh! Lama bener lo jadi cewek!" Suara itu membuyarkan lamunanku seketika. Dia meneriakiku dari halaman depan rumahku. Sedangkan aku masih berdiri di teras. Pagi ini seperti pagi-pagi sebelumnya, dia menjemputku 'lagi'. Akhir-akhir ini setelah pertemuan waktu itu, dia menjelma menjadi tukang ojekku yang datang sendiri tanpa dipesan.
"Bentar! Sabar dikit kenapa sih, Raf? Tali sepatu gue lepas nih. Lo mau apa naliin sepatu gue, ha?" Teriakku balik sambil berpura-pura mengikat tali sepatuku yang sebenarnya tidak lepas.
Ketika sedang asyik mengotak-atik tali sepatu yang tidak lepas, tiba-tiba ada seseorang berdiri di hadapanku. Kemudian dia berlutut mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan tinggi tubuhku sekarang. Aku masih berlutut dan sibuk dengan tali sepatuku.
"Lo ngibulin gue? Daritadi lo aja bengong mulu. Trus mana? Mana tali sepatu lo yang lepas?" Tanya Rafa yang sekarang berada di hadapanku. Habis aku! Dia bakalan tau kalau aku hanya mencari-cari alasan tadi.
"Isshh! Lo kenapa sih kesini? Udah tunggu aja sono di atas motor lo!" Suruhku sambil mengibaskan-ngibaskan tanganku menyuruh dia agar segera pergi.
Tanpa basa-basi lagi, Rafa segera menarik tanganku dan berjalan menuju motornya yang terparkir.
"Anak SMA kek elo, nggak bisa ngibulin mahasiswa kek gue." Ucapnya datar ketika kami sudah duduk di jok motornya.
"Hmm." Balasku sebal. Kenapa aku yang selalu kalah? Ini nggak bisa dibiarin.
Motor Rafa melaju pergi meninggalkan kediamanku. Dia berkendara dengan gesit seperti biasa. Agar aku tidak terjatuh dengan konyol, aku berpegangan pundak Rafa. Kalau sedang duduk, tinggi Rafa nggak terlalu terpaut jauh denganku. Beda banget kalau lagi berdiri di samping Rafa. Aku bakal berasa kayak kurcaci. Eh, tapi nggak segitunya juga kok. Kalau di kelas, aku termasuk cewek yang punya postur tubuh tinggi. Rafanya aja yang jadi cowok kelewat tinggi.
"Raf?" Panggilku
"Apa?" Samar-samar suaranya terdengar dari balik helm yang dia kenakan
"Kenapa lo mau anter-jemput gue?" Tanyaku. Entah mengapa, aku hanya ingin tau apa alasan Rafa.
"Pengen aja mastiin lo selamet sampek tujuan. Kan gue gak pengen lo ketabrak mobil lagi." Jawabnya enteng. Tunggu! Sejak kapan dia tau kalau aku pernah ketabrak mobil?
"Kok lo tau kalo gue pernah ketabrak mobil? Emang gue pernah cerita ke elo?" Tanyaku penasaran.
"Lo gak pernah cerita ke gue kok. Gue nya aja yang tau sendiri."
"Ah, yaudahlah bodo amat lo tau darimana."
***
"Ee cieeh yang dianter pacaaar." Ledek Liona ketika aku sudah duduk di sampingnya. Suasana kelas masih terasa sepi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Willingness
Teen FictionAva : "Mungkinkah gue jadi separuh hidup lo?" Rafa : "Gue hampir berhasil sebelum semua itu terjadi." Jovan : "Lo yang paling gue sayangi semenjak Mama nggak ada." David : "Lo pelengkap hidup gue." Liona : "Lo sohib tersayang buat gue."...