Author's POV
"Wah, berarti sama kayak tuh cowok dong? Kalo diliat-liat mirip Rafa juga kok." Ucap Jovan. Ava segera menatap Jovan yang sedang mengarahkan pandangannya ke belakang tubuh Ava. Secepat kilat, Ava ikut memandang ke arah yang sama.
Detik itu juga, Ava mendapati sepasang mata teduh yang dulu dia kenal. Laki-laki yang kini sedang berdiri membelakangi pagar jembatan itu menjadi pusat perhatian Jovan dan Ava. Dilihatnya laki-laki itu dengan serius. Hingga Ava menyadari bahwa seseorang itu memanglah Rafa. Laki-laki yang selama setahun terakhir ini hilang tanpa kabar.
"Rafa?" Kata itu terucap dari mulut Ava tanpa dia sadari. Segera kakinya bergerak untuk berdiri. Disusul dengan Jovan yang untungnya sudah menghabiskan satenya secepat kilat.
Laki-laki yang diyakini Rafa itu hanya berdiri bersandar membelakangi pagar jembatan sambil sesekali melihat jam tangannya. Wajahnya nampak seperti seseorang yang menunggu seseorang lainnya. Terlihat mulai jengkel karena seseorang itu tidak kunjung datang.
Dan tanpa Rafa sadari, dua orang telah berdiri di hadapannya. Pandangannya yang tadi sempat sibuk mengetikkan pesan di ponselnya pun segera beralih. Dilihatnya dua orang yang kini berdampingan berdiri di hadapannya. Seseorang yang sangat dia kenal. Seseorang yang selama satu tahun ini dia tinggal tanpa sempat dia beri kabar. Dan seseorang itu tengah berdiri di hadapannya dengan tatapan terkejut.
"Ava?" Tanyanya memastikan sambil membenarkan posisi berdirinya. Dia berjalan mendekati perempuan itu.
"Iya, gue Ava." Jawab Ava sambil mengangguk.
Jovan yang merasa dirinya belum pernah berkenalan dengan Rafa pun segera mengulurkan tangannya, "Gue Jovan. Abangnya Ava. Pasti lo udah tau."
"Gue Rafa." Lanjutnya sambil membalas uluran tanga Jovan.
Pandangan Rafa yang tadi sempat mengarah ke Jovan pun kini kembali mengarah ke Ava, "Apa kabar, Va?" Tanya Rafa.
"Gue baik. Tapi nggak sebaik yang lo liat." Jawab Ava.
"Sorry buat nggak pernah ngasih kabar ke elo." Ungkapnya penuh penyesalan. Pasti Ava menderita ketika dirinya tak pernah memberikan sedikitpun kabar kepada perempuan yang kini berdiri di hadapannya kini.
"Asal habis ini lo ngasih kabar ke gue, gue bakal maafin." Jawab Ava.
Jovan yang tidak ingin mengganggu dua makhluk di hadapannya ini, kini memilih pamit untuk pergi. Dia lebih ingin untuk membeli beberapa makanan lagi daripada harus menjadi penonton disini.
"Gue kangen sama lo." Ucap Rafa sambil meletakkan kedua tangannya di pundak Ava. Dia sedikit menundukkan pandangannya ketika mengobrol dengan lawab bicaranya.
"Gue lebih kangen sama somplak."
"Gue menderita jauh sama lo."
"Gue lebih menderita waktu gue sok-sokan ngerelain lo pergi gitu aja."
Rafa segera merengkuh Ava ke dalam pelukannya. Berharap pelukan ini bisa menjadi pengobat rindunya. Ava membalas pelukan Rafa dengan cukup kuat. Seakan dia tidak ingin Rafa pergi untuk ke dua kalinya.
"Lagi libur kuliah?" Tanya Ava masih dalam pelukan Rafa.
"Iya." Jawab Rafa singkat. Dia membenamkan kepalnya di pundak kanan Ava. Menghirup aroma rambut Ava yang khas.
"Lancar kan kuliah lo?" Tanya Ava lagi.
"Lancar-lancar aja kok." Jawab Rafa, "Tapi lebih lancar lagi kalo misalnya ada Oneng macem lo di samping gue." Sambungnya dengan senyum manis yang terlukis di wajah karismatiknya. Dan tentu saja senyumnya itu tak dapat dilihat oleh Ava.
KAMU SEDANG MEMBACA
Willingness
Teen FictionAva : "Mungkinkah gue jadi separuh hidup lo?" Rafa : "Gue hampir berhasil sebelum semua itu terjadi." Jovan : "Lo yang paling gue sayangi semenjak Mama nggak ada." David : "Lo pelengkap hidup gue." Liona : "Lo sohib tersayang buat gue."...