Ava's POV
"Gue nggak diusir kok dari rumah. Emang dasarnya gue aja pengen tidur disini. Salah siapa punya kamar nyaman banget kayak orangnya. Eh?!" Aku terkejut. Bahkan sangat terkejut ketika menyadari apa yang barusan aku katakan. Dalam hati aku sangat merutuki perkataanku. Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kenapa aku harus jujur? Dasar bibir ceplas-ceplos."Hahaha.." Aku kemudian tertawa garing agar Rafa tidak menanggapi perkataanku tadi dengan serius. Aku tidak mau Rafa menjadi ge-er. Dan lebih tepatnya lagi, aku tidak ingin Rafa tau tentang apa yang sedang hatiku perdebatkan.
Rafa menautkan kedua alisnya. Kini dia beralih dari laptopnya dan menatap wajahku. Aku yang tadinya tertawa garing, seketika diam. Tidak tau ingin berkata apa. Padahal biasanya aku tidak gugup seperti ini.
Oke, aku benar-benar bingung harus bicara apa. Karena sekarang Rafa menatapku intens
"Drrtt Drrrtt" Ponselku bergetar tanda ada pesan masuk. Langsung saja aku mengambil ponselku.
*Setidaknya gue bisa menghindari tatapan Rafa barusan. Thank's buat siapapun elo yang baru aja ngirim pesan ke gue*
Aku mengusap ponselku. Ada sebuah pesan dari seseorang yang tidak asing lagi bagiku.
Kak Jov : Lo lagi dimana, dek? Jawab message gue!
Ava : Dih, maksa banget biar pesannya dijawab. Gue lagi di rumah temen
"Siapa, Va?" Tanya Rafa tiba-tiba. Dan sekarang tatapannya sudah kembali menuju layar laptopnya. Mungkin gara-gara tadi aku dapat pesan dari Kak Jo, jadi dia langsung berhenti melihatku. Aku terselamatkan
"Kak Jo. Biasalah." Jawabku enteng. Rafa memang sudah pernah aku ceritakan mengenai Kak Jo. Tapi, Kak Jo sama sekali belum pernah aku beritahu tentang Rafa. Nggak adil memang. Tapi akunya juga yang males cerita sama Kak Jo.
Kak Jo : Udah makan siang belom, Va? Jangan sampek lo kelupaan
Ava : Udah tadi ... pagi
Kak Jo : Buruan makan, dek! Ntar kalo maag lo kambuh lagi, urusannya bisa jadi repot
Ava : Tinggal dibawa ke rumah sakit gak repot kaliik
Kak Jo : Terserah lo, dek. Yang penting sekarang lo buruan makan siang
Ava : Iya iya. Elo juga buruan siap2. Jangan molor mulu!
Kak Jo : Ini juga udah bangun kok. Tapi ini masih terlalu pagi buat siap2. Jadi entaran ajalaah.. Cepetan lo makan -_- !
Bawel ya punya kakak kayak Kak Jo. Nanti kalau nggak diturutin, aku bakalan kena amuk. Mending aku makan di rumah Rafa aja kayak biasanya
"Raf." Panggilku
Dia menoleh, "Hm?"
"Nebeng makan boleh?" Tanyaku to the point
"Biasanya kan lo juga nebeng makan disini, Va." Senyum miringnya sedikit mengembang. "Pasti disuruh Kak Jo ya?"
Aku mengangguk sambil menyengir. Memperlihatkan deretan gigiku.
"Sono ambil di meja makan!" Dia menyuruhku mengambil makanan di meja makan seperti yang biasa aku lakukan. Tapi tiba-tiba dia langsung berdiri, "Apa perlu gue ambilin, Va?" Tanyanya kepadaku
"Eh, nggak usah. Gue bisa ambil sendiri kok." Jawabku cepat. Padahal sebenarnya aku juga gapapa kalau Rafa mau ngambilin makan buatku. Itung-itung gak perlu jalan. Tapi, namanya gak enak juga. Udah nebeng, minta diambilin. Oke, baru kali ini aku nggak enakan sama orang.
Harusnya setelah Rafa mendengar jawabanku, dia kembali duduk. Tapi kali ini dia malah berjalan keluar kamar. Akupun langsung mencegahnya agar tidak mengambilkan makan untukku.
"Raf! Udah biar gue sendiri aja yang ngambil!" Ucapku mencegah Rafa agar tidak bisa keluar dari kamar. Posisiku sedang berdiri menyumbat pintu kamar Rafa.
Dia hanya berhenti, menaikkan satu alisnya, memberikan sebuah senyum miring, dan berkata, "Gue mau ke kamar mandi kali, Va. Siapa juga yang mau ngambilin lo makan? Kalo ge-er jangan kebangetan." Dia terkekeh melihat tingkah lakuku barusan. Kemudian dia berlalu meninggalkanku. Aku hanya bisa memasang wajah cengo mirip seperti orang o-on.
*Gue kira lo bakalan tetep ngambilin gue makan walaupun tadi gue bilang nggak usah. Tapi kenyataannya nggak semanis itu*
Aku berjalan menuju dapur. Sampai di tangga, aku baru menyadari sesuatu.
"Di kamar Rafa kan ada kamar mandi, kenapa dia malah pergi ke kamar mandi di luar?" Gumamku pelan sambil tetap berjalan menuruni tangga.
Aku menyukai suasana di rumah ini. Tidak berbeda sebenarnya dengan suasana rumahku. Tapi entah kenapa, aku menyukainya. Padahal baru beberapa kali aku datang kemari.
Di tengah jalan menuju meja makan, aku mendapati Bi Minah sedang mengepel lantai. Dengan sopan, aku menyapa Bi Minah.
"Hehe.. Hai, Bi. Lagi ngepel lantai ya, Bi?" Tanyaku benar-benar konyol. Sudah jelas-jelas Bi Minah lagi ngepel lantai. Masih saja aku bertanya. Anggap saja yang barusan itu cuman basa-basi.
"Iya, Va. Mau ke meja makan? Ambil makan siang?" Tanya Bi Minah. Beliau memang sudah hafal kebiasaanku di rumah ini. Kalau aku kesini siang hari, pasti sering nebeng makan.
"Hehe.. Bibi mah, udah tau kebiasaanku. Jadi, nebeng makan lagi boleh kan, Bi?" Tanyaku walaupun aku tau pasti Bi Minah bakal mengizinkan. Toh, si Rafa juga udah ngizinin aku.
"Bibi mah bakal ngasih izin ke Ava terus. Lagian Rafa juga yang lebih berhak ngasih izin. Bibi mah iya-iya aja, Va. Hehe.." Jawab Bi Minah sambil mengepel
"Yaudah ya, Bi. Ava mau ngambil makan dulu. Maaf loh, Bi. Ava nggak bisa bantuin ngepel." Sambungku sambil mengenyir kemudian berlalu pergi setelah mendapat jawaban dari Bi Minah.
Sesampainya di meja makan, aku tidak mendapati satupun hidangan yang tersaji.
*Tadi katanya suruh ngambil. Ini mana coba? Meja aja kosong melompong*
Aku bingung harus makan apa kalau nggak ada satupun makanan di meja makan ini? Atau aku beli di luar? Tapi aku selam pakek banget.
Akhirnya aku memutuskan untuk tidak makan saja. Sehari aja nggak makan, sepertinya nanti maag ku juga nggak bakalan kambuh.
Aku kembali menuju kamar Rafa. Tapi, aku tidak lagi mendapati Bi Minah mengepel. Mungkin Bi Minah sedang pergi sebentar. Aku tetap melanjutkan langkahku menuju kamar Rafa. Kubuka kenop pintu kamarnya.
"Udah makan?" Tanyanya ketika aku menutup pintu kamarnya kembali.
"Belom." Jawabku sambil berjalan menuju tempat tidurnya. Tapi, saat aku ingin melangkahkan kakiku di atas karpet, ada sebuah piring yang tersaji di atas tempat tidur Rafa. Piring itu berisi makanan yang porsinya sangat besar menurutku. Mungkin itu makan siang Rafa.
"Tuh, dimakan." Suruhnya kemudian. Aku tercengang. Makanan sebanyak ini buat aku? Aku kira ini tadi punya Rafa.
"Loh? Bukannya ini punya lo?" Tanyaku memastikan
"Bukan. Itu makan siang lo." Jawabnya masih sambil mengetik. Kenapa dia terlalu serius mengerjakan tugasnya? Terlalu sulit apa buat menghormati lawan bicaranya? Ah, tapi siapa aku yang meminta untuk dihormati?
"Demi apa lo ngasih makan siang ke gue sebanyak ini?" Tanyaku dengan ekspresi paling hebohku. Aku tidak akan kuat menghabiskan semua makanan yang ada di piring ini. Mungkin aku cuma habis setengahnya saja, "Kok lo jahat banget sih ngambilin gue makan segini banyak?" Sambungku yang kini memasang wajah memelas
"Lo nggak habis?" Tanyanya lagi. Kenapa dia selalu bertanya?
"Jelas enggak laah." Jawabku yang kini sudah memegang piring penuh dengan makanan. Dan aku mengambil posisi dudukku seperti tadi. Di atas tempat tidur mengahadap sisi sebelah kanan Rafa.
"Yaudah buat berdua."
***
Akhirnya! Wkwkwk :D . . . Udah lama sebenernya diketik. Tapi baru ngeh di-post sekarang
XOXO, Qifa
KAMU SEDANG MEMBACA
Willingness
Подростковая литератураAva : "Mungkinkah gue jadi separuh hidup lo?" Rafa : "Gue hampir berhasil sebelum semua itu terjadi." Jovan : "Lo yang paling gue sayangi semenjak Mama nggak ada." David : "Lo pelengkap hidup gue." Liona : "Lo sohib tersayang buat gue."...