Real >24<

34 1 3
                                    

Rafa's POV

Aku nggak bakal tinggal diem gitu aja dijodohin sama perempuan sayko itu. Dia tidak benar-benar mencintaiku. Karena dia hanya mempunyai obsesi besar untuk mendapatkanku.

Kini aku duduk di kafe sendirian. Menyusun rencana untuk menghancurkan pertunanganku dengan Naura yang sudah berlangsung selama satu bulan ini. Belum sempat aku menyesap minumanku, ponselku bergetar tanda ada pesan masuk.

Naura : Jalan yuk, yang 

Aku malas berurusan dengan perempuan ini. Setelah membaca pesannya, tak ada niatan dari dalam diriku untuk menjawabnya.

Beberapa menit kemudian, ada pesan masuk lagi. Aku menebak jika pesan ini berasal dari Naura. Tapi, setelah aku membaca nama pengirim yang tertera di ponselku, tebakanku ternyata salah. Pesan ini berasal dari Tommy. Sepupuku yang setahun belakangan ini tak pernah aku tahu bagaimana kabarnya.

Tommy : Gue pengen ketemuan sama lo. Sekarang

Rafa : Kita ketemuan di Aseaka Cafe

Tommy : 15 mnt gue sampek

Rafa : Ok

Karena aku sekarang sedang berada di Aseaka Cafe, maka Tommy kusuruh datang kemari. Bagiku, menunggu 15 menit tak akan terasa lama. Aku pun menyibukkan diri dengan melihat orang-orang yang sedang sibuk dengan aktivitasnya. Mulai dari mengerjakan tugas, hingga ngobrol dengan teman sepermainan. Hal umum yang dilakukan orang-orang.

15 menit berlalu. Akhirnya orang yang kutunggu muncul dari balik pintu. Menampakkan sosok tinggi tegapnya. Tak banyak yang berubah darinya menurutku.

"Mau ngomongin apa?" Tanyaku to the point ketika Tommy sudah duduk di hadapanku.

"Lo itu sebenernya serius sama Ava atau enggak sih, Raf?" Tanyanya dengan tidak sabaran. Raut wajah frustasi nampak jelas di wajahnya.

"Gue serius." Jawabku. Aku benar-benar serius dengan perasaanku terhadap Ava. Tidak ada niat untuk mempermainkan perasaan Ava. Sama sekali tidak.

"Kalo lo serius, kenapa lo malah tunangan sama Naura?" Tanyanya lagi sambil mengarahkan telunjuknya di depan wajahku. Segera aku mengusir telunjuknya dari pandanganku.

"Oke. Ini waktunya gue ngejelasin semua ke elo." Ucapku sambil menghembuskan nafas kasar. Bingung kenapa hidupku makin serumit ini.

Tommy memasang telinganya dengan saksama. Menunggu penjelasan yang akan aku lontarkan saat ini juga.

"Setahun yang lalu, gue disuruh bokap buat pindah kuliah. Awalnya gue tolak, karena gue nggak bisa gitu aja jauh dari Ava. Tapi, setelah bokap ngebujuk gue terus-menerus, akhirnya gue nge-iyain permintaannya. Waktu itu gue stress berat. Gue bingung harus pergi gitu aja, atau pamit dulu ke—" Ceritaku disela oleh Tommy yang kelihatannya tidak sabar untuk ke intinya.

"Gue udah tau itu semua. Yang perlu gue tau adalah, gimana bisa lo tunangan sama Naura?" Sela Tommy.

"Oke." Aku menghela nafas perlahan, "Jadi waktu itu, gue cuman tau kalo bokap nyuruh pindah kuliah. Dia nyuruh gue pindah kuliah biar gue bisa sekalian belajar ngurus perusahaan bokap gue. Awalnya gue nolak dengan alasan gue masih mau fokus ke kuliah. Tapi gara-gara bokap gue selalu maksa, yaudah deh gue iyain. Dua bulan gue kuliah disana, tiba-tiba Naura muncul di kehidupan gue. Waktu itu ada acara dinner sama sahabat bokap gue. Nggak taunya, itu bukan dinner biasa. Disana gue dikenalin sama Naura. Dan disana juga gue dikasih tau tujuan Papa sebenernya. Papa ngejodohin gue sama Naura. Selesai." Rafa segera meneguk minumannya. Tenggorokannya terasa mengering setelah menceritakan kejadian sebenarnya pada Tommy.

"Tapi kenapa selama itu juga lo nggak pernah ngasih kabar ke Ava?" Tommy masih bertanya kepadaku dengan tatapan mengintimidasi.

"Gue nggak bisa." Aku mengerang frustasi. Rasanya semua ini terlalu berat untukku.

"Itu bukan alasan yang masuk akal, Raf. Lo itu cowok. Lo harus berani bilang tentang kenyataan yang udah terjadi." Tommy mulai menekankan tiap-tiap kata yang dia lontarkan. Kulihat tangannya mengepal kuat menahan kesal yang teramat sangat.

"Gue nggak bisa bikin dia sakit hati dengan tau kalo gue udah dijodohin sama Naura."

"Asal lo tau, Raf. Dengan lo nggak ngabarin dia, lo juga udah bikin dia sakit hati."

Deg. Jantungku seakan berhenti berdetak sepersekian detik. Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri karena perempuan yang kusayangi terluka akibat perbuatanku sendiri. Perempuan yang selalu ingin aku jaga. Menjadi separuh hidupku.

"Apa gue udah gagal? Gue nyakitin dia dengan nggak pernah ngasih kabar. Lalu gue nyakitin dia lagi dengan nggak sengaja ketemu dia di jembatan kota. Dan pertemuan itu juga yang ngebuat dia tau kalo gue udah tunangan." Aku sangat menyesali perbuatanku. Tentang ketidak terbukaanku kepada perempuan yang sudah mengisi hatiku selama ini.

"Lo belom terlambat."

***

WillingnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang