Celoteh Panjang >4<

49 6 0
                                    

Jepret!

Aku kaget ketika tiba-tiba Tommy memegang kamera dan membidik wajahku, "Woy! Lo habis ngefoto apaan? Awas lo kalo ngefoto muka gue! Habis hidup lo!"

"Thank's ya!" Ucapnya sambil berlalu dengan motornya tanpa menghiraukan bentakkanku tadi. Aku jadi khawatir jika dia tadi benar-benar mengambil foto wajahku. Bisa-bisa aku dijadiin target pem-bullyan berikutnya. Tapi tunggu! Kenapa aku harus takut? Toh, biasanya aku juga berani nonjok dia, ngedorong dia sampai jatoh, ngejambak rambut dia, dan aku sampai sekarang tetep sehat-sehat aja. Jadi, kalau tadi dia ngambil foto wajahku, aku harus nyari perhitungan sama dia. Emang dia bisa seenaknya ngambil foto wajah aku seenaknya? Enggak. Enggak sama sekali!

"Awas aja lo! Gue kejer lo sampek ujung kota ini!" Teriakku sambil mengayuh sepedaku secepat mungkin

Aku enggan jika Tommy mendapatkan foto wajahku. Jadi, aku memutuskan mengejar dia sampai ketangkap. Tanganku sudah benar-benar gatal. Tidak sabar untuk segera membuatnya babak belur.

Aku cukup gesit, bahkan sangat gesit ketika melewati beberapa kendaraan yang kecepatannya lebih rendah dari kayuhanku. Sepedaku tidak menjadi penghalang untuk mendapatkan Tommy.

"Drrrtt! Drrrtt!" Ponselku tiba-tiba berbunyi. Biar akup tebak. Pasti yang menelfonku adalah Kakakku.

"Kenapa dia telfon disaat seperti ini? Tidakkah dia bisa diam sehari saja? Arrgghhh!! Geli gue jadinya!" Gerutuku sendiri.

Dengan cepat aku mengambil ponselku dan menekan tombol answer.

"Ngapain lo telfon gue? Dasar Kakak nggak tau waktu! Seenaknya aja telfon orang disaat sibuk kayak gini!" Aku meluapkan kemarahanku dengan uap yang mungkin sudah keluar dari atas kepalaku.

"Emang lo lagi ngapain? Tumben-tumbenan sibuk." Tanya Kakakku di sebrang telfon

"Gue lagi ngejer si Tommy tauk!" Jawabku cepat

Aku mengendarai sepeda dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang satunya sedang memegang ponsel di telingaku.

"Lo lari-larian gitu sama Tommy?" Tanyanya lagi

"Ya kagak lah! Gue ngejar dia pakek sepeda gue! Jangan o-on gitu napa sih?!"

"Terus si Tommy juga naik sepeda gitu?"

"Mana mungkin dia naik sepeda? Anak mama tuh anak! Dia naik motor."

"Ooh gitu. Emang Tommy itu siapanya elo? Terus lo ngapain ngejar si Tommy?"

"Intinya dia bukan temen gue! Dan gue ngejar dia gara-gara dia seenak jidat ngefoto gue! Gue juga belom tau pasti apa dia bener ngefoto gue sih. Tapi pokoknya gue mau nyari tau! Dan kalo bener dia ngefoto gue, habis dia!"

"Garang amat sih adhek gue satu ini sama cowok. Pelit banget foto wajahnya diambil. Palingan dia itu su-"

Aku memotong omongan Kakakku, "Jangan macem-macem lo kalo ngomong!"

Lama-lama tenagaku mulai terkuras juga. Rasa laparku yang sedari pulang sekolah tadi aku tahan, kini semakin menjadi-jadi. Genggaman tanganku pada sepeda mulai tidak sekuat tadi. Kecepatanku sedikit aku perlambat. Padahal jarak antara aku dengan Tommy sudah tidak terlalu jauh lagi. Tapi aku harus mengontrol energiku.

"Emang lo tadi udah makan siang?" Kakakku bertanya seakan dia tau apa yang sedang aku rasakan sekarang

"Belom." Nada suaraku tidak lagi membentak seperti tadi. Aku jamin, pasti Kakakku tambah berceloteh panjang setelah ini

"Lo itu gimana sih? Harusnya tadi lo makan siang dulu! Biarin aja si Tomyam, Tom siapalah tadi ngefoto lo. Lo kan besok juga bisa ketemu dia di sekolah. Mana sekarang lo kebut-kebuttan di jalan. Inget! Lo itu masih cewek, dan selamanya jadi cewek. Nggak usah sok-sokan sekuat cowok!" Benar saja. Dia berceloteh panjang. Aku hanya bisa mendengarkan celotehannya karena tenagaku hanya tersisa setengah. Aku mulai terengah-engah.

"Iya gue ngerti." Jawabku datar tanpa ada niatan untuk memarahinya kembali.

"Sekarang lo--"

GUBRAK!

Suara Kakakku sudah tidak terdengar lagi.

Author's POV
"Va? Suara apa itu tadi?"

"..."

"Va? Lo masih disana kan?"

"..."

"Va! Jawab pertanyaan gue! Jangan campakkin gue!"

"Tolongin woy!" Terdengar suara orang banyak yang berasal dari ponsel Ava berada

"Va? Suara siapa itu? Kok ada orang bilang tolongin gitu? Lo lagi nolongin orang?" Tanya Jovan yang mulai cemas

"..."

"Mana suara lo, Va? Gue nggak bisa tenang kalo belom denger suara dari lo!"

"..."

"Gue rela kalo sekarang lo ngebentak-bentak gue! Tapi please! Biarin suara lo masuk ke telinga gue!"

"..."

"Avaaa!? Lo adhek gue satu-satunya!" Jovan mulai berteriak. Dia tetap mencoba berbicara kepada Ava walau hasilnya nihil

"..."

"Ava!?"

Akhirnya sambungan telefon terputus.

WillingnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang