"Lo mau bantuin gue, atau ngatain gue?" Tanyaku ketus
Tanpa menanggapi pertanyaanku, Tommy langsung meraih tanganku dan menarikku agar berdiri."Tumben lo mau bantuin gue. Biasanya aja ngajak ribut." Aku tiba-tiba menyindirnya sesukaku
"Dibantuin berdiri itu bilang 'makasih'. Bukannya nyindir nggak jelas." Sahutnya dengan nada dingin
Aku menilai bahwa Tommy ini anaknya labil. Bentar-bentar ngajak ribut, bentar-bentar sok dingin, bentar-bentar sok cuek, bentar-bentar sok perhatian. Eh?!
Meskipun Tommy udah mengajariku untuk bilang 'makasih', tapi saat ini aku sedang enggan untuk mengatakannya. Bentaran aja aku ngomongnya. Sekarang yang lebih penting adalah meminta ponselku kembali.
*
Tanpa perlu menunggu lama, aku sudah menggenggam posel milikku. Segera aku mengabari Kak Jovan, Abangku satu-satunya itu.
*
Aku menghela nafas lega setelah mengabari Kak Jovan. Untung aku tidak terlambat mengabarinya. Kalau terlambat, dia pasti sudah membeli tiket pulang ke Indonesia. FYI, dulu dia pernah berjanji kepadaku kalau ada apa-apa denganku dia akan langsung pulang. Dengan atau tanpa Papa. Rasanya dia seperti pengganti Mama bagiku. Lama-lama aku mulai mengakui bahwa perhatiannya nggak tanggung-tanggung.
"Hoi! Bengong aja lo. Ini buruan dimakan. Keburu maag lo ntar kambuh." Tommy mulai berbicara memecah lamunanku
Aku kaget. Bukan karena dia mengganggu lamunanku. Melainkan karena dia tau kalau aku punya sakit maag. "Lo tau dari mana kalau gue punya maag?" Tanyaku bingung
"Eh, gue, gue cuma nebak aja." Jawabnya sok-sokan datar. Padahal jelas-jelas dia gugup gitu. Dasar cowok jaim
"Ah, bodo amat lo tau dari mana. Buat gue, yang terpenting sekarang adalah makaaan!" Aku segera menyambar makanan yang sudah terhidang di atas nampan. Mulutku mengunyah dengan lahap tanpa ada rasa jaim seperti cewek-cewek biasanya yang jaim kalau lagi di depan cowok.
"Rakus emang nih cewek." Dia bergumam sendiri seakan aku tidak mendengar apa yang dia katakan.
>>>
Sampai juga di rumah. Badanku masih terasa sakit. Cuma sedikit sebenarnya luka yang berdarah. Tapi nyeri-nya itu yang nggak ketulungan. Sampai-sampai Tommy menuntunku sampai ke kamar. Sedangkan Bibi dengan sigap mengambilkan semua obat-obatan. Padahal nggak papa juga kalau nggak diambilin.
"Yaudah, gue balik dulu." Tommy segera berjalan keluar kamar. Sedangkan aku mengangguk pertanda memperbolehkannya untuk pulang. Eits! Siapa aku coba kalau nggak ngebolehin dia pulang?
Ketika Tommy mulai memegang kenop pintu kamarku, "Tom?" Aku memanggilnya.
"Hm, ya?" Balasnya singkat sambil menoleh kepadaku
"Thank's!" Ucapku singkat sambil menunjukkan sedikit ulasan senyum. Sedikit ajalah nggak usah banyak-banyak.
"Nope." Jawabnya sambil tersenyum hangat.
*
Tunggu! Aku baru ingat sesuatu! Aku mengejar Tommy untuk menghapus foto wajahku jika dia benar-benar telah menjepretku. Padahal Tommy sudah sedari tadi pulang.
*Dasar pelupa!* Olokku pada diriku sendiri
Ah! Tapi yaudahlah. Aku udah males juga ngurusin itu lagi. Sekarang yang harus aku lakuin adalah memulihkan kondisiku. Besok aku harus sekolah dan juga ada jadwal latihan. Jadi, aku musti buru-buru istirahat.
Belum sempurna aku memejamkan mataku, tiba-tiba ponselku berdering. Kak Jovan.
"Hm?" Tanyaku malas karena kantuk
"Lo udah istirahat kan, Dek?" Tanya suara dari ujung telepon. Benar saja itu memang suara Kak Jovan
"Belom sempurna istirahat gue. Baru merem lo malah nelfon gue." Jawabku ketus
"Maaf kalo gitu. Gue kan cuma mastiin kalo lo baik-baik aja. Apa perlu gue sama Papa pulang? Takutnya ntar lo kenapa-napa lagi." Ucapnya dengan nada khawatir
"Jangan mulai deh, Kak! Gue nggak papa. Lo sama Papa baek-baek aja disana. Tadi Bibi udah nyiapin gue obat segunung, air es, air anget, air panas, makanan, minuman, dan barang-barang yang menuhin kamar gue. Pasti itu semua lo yang nyuruh kan?" Tanyaku memastikan
"Tau aja lo. Gue kan nggak bisa ngebiarin Adek gue sakit. Lo itu hanya boleh sakit kalau gue ada di samping lo. Itupun nggak boleh sering." Kak Jovan mulai bicara yang enggak-enggak
"Udah ah! Lo mulai ngaco ngomongnya. Gue mau tidur tau! Bye!" Tanyaku langsung memutus sambungan telepon sepihak.
Tak lama, ada pesan masuk.
BROTHER : Nggak sopan ya, lo! Yang nelfon pertama aja gue, masak lo yang maen mutus-mutusin seenaknya. Yaudah lo buruan tidur. Mimpi indah ya.. Good night!
Aku hanya membaca pesan dari Kak Jovan.
>>>
"Va, lo kenapa? Nggak biasanya lo jala kayak gini." Tanya Liona dengan raut cemas dan langsung membantuku berjalan menuju ruang kelas.
"Nggak papa. Gue kemaren cuma habis ketabrak mobil aja." Jawabku enteng
"Apa?! Lo habis ketabrak mobil? Mana yang sakit? Ih! Kok lo masuk sih? Lo harusnya tidur di rumah! Nggak usah masuk du--" Nasehatnya panjang tapi segera aku potong
"Kan udah gue bilang, gue nggak papa, Liona sayang. Cuman berdarah dikit aja kemarin. Sama nyeri aja dikit." Aku terlau berbohong. Hanya nyeri sedikit aku bilang? Padahal kemarin saja Tommy sampai menuntunku hanya untuk sampai ke kamarku.
"Kalo gitu, ntar lo nggak boleh latihan dulu!" Suruhnya terdengar memaksa
"Ya nggak bisa gitu dong, Li. Bentar lagi ada kompetisi. Masak iya aku nggak latihan?" Aku menolak paksaan Liona
"Kalo dibilangin jangan ngebantah. Ini demi kebaikan lo."
"Nggak mau di rumah." Balasku
"Huh! Gue bakalan tau kalo lo nggak bakalan mau kalau gue suruh bolos latihan. Kalo gitu ntar gue temenin lo latihan. Lo nggak boleh nolak. Gue nggak mau lo kenapa-napa entar." Paksanya lagi. Tapi dengan paksaan yang berbeda
Aku menaikkan sebelah alisku. "Lo nggak lagi modus biar bisa ketemu sama temen-temen gue, kan?" Tanyaku
"Enggak kok. Enggak salah sebenernya. Gue, yaa ada modus-modusnya dikit laah. Tapi gue beneran pengen mastiin ko nggak kenapa-napa entar." Jawab Liona
"Oiya, lo tadi berangkat sekolah naek apa? Jangan bilang lo naek sepeda!" SambungnyaAkhirnya kami sampai juga di ambang pintu ruang kelas kami. Segera kami masuk kelas.
"Belom juga gue jawab, lo udah ngebentak gue. Gue tadi naik mobil. Yakali gue naik sepeda. Entar yang ada gue bakalan dimarahin banyak orang termasuk elo."
"Bagus deh." Sahutnya singkat dengan senyum puas. "Oiya, siapa yang nabrak lo? Trus lo ditolongin sama yang nabrak itu, kan? Lo pingsan nggak? Emangnya kenapa lo bisa ketabrak gitu? Lo kan handal naik sepeda. Dan kenapa lo kemaren nggak ngabarin gue kalo keadaan lo kek gini? Gue kan bisa dateng ke rumah lo." Celotehnya panjang lebar. Dia mirip dengan Kak Jovan. Suka sekali berceloteh ria. Dan sasaran celotehannya adalah aku. Kenapa aku menjadi korban celotehan orang-orang?
"Pertanyaan lo banyak banget. Ntar aja gue ceritain."
***
Kayaknya part ini panjang. Atau pendek ya? Tau deh. Yang jelas part ini itu mo-no-ton.
KAMU SEDANG MEMBACA
Willingness
Teen FictionAva : "Mungkinkah gue jadi separuh hidup lo?" Rafa : "Gue hampir berhasil sebelum semua itu terjadi." Jovan : "Lo yang paling gue sayangi semenjak Mama nggak ada." David : "Lo pelengkap hidup gue." Liona : "Lo sohib tersayang buat gue."...