Ava's POV
Sekarang aku duduk di bangku penumpang depan. Aku masih meringis kesakitan. Sepertinya darah tidak ingin berhenti keluar."Va?" Panggil seorang lelaki di sampingku.
Aku tak menyahut.
"Va, maaf tadi gue main bawa Naura tanpa ngepeduliin lo." Ujar orang itu. Rafa.
"Lo gak salah." Jawabku.
"Gue salah. Gue udah salah ngebiarin lo dengan kaki kayak gini." Ujarnya dengan nada penuh penyesalan.
"Gue gakpapa." Dustaku. Bagaimana aku bisa baik-baik saja jika hati dan fisikku merasakan sakit? Aku tidak suka ketika Naura mendekati Rafa. Dan lukaku begitu perih setelah mendapat tendangan dari Naura.
Kalau boleh, aku ingin menangis sejadi-jadinya. Aku tidak peduli jika orang lain kaget melihat seorang Ava menangis. Seorang Ava yang biasanya terlihat tangguh menangis begitu saja. Aku tidak peduli.
Tapi, entah kenapa. Aku tidak bisa. Mungkin yang lebih tepat aku menahan air mataku. Air mata yang sebenarnya sudah bersiap untuk meluncur deras.
"Va, kenapa wajah lo merah padam gitu?" Tanya Rafa sambil sekilas menyentuh dahiku, "Lo nggak demam padahal. Tapi kenapa muka lo merah?"
Asal lo tau, Raf! Wajah gue merah karena gue nahan air mata gue! Gue gak mau dikira cewek lemah! Okay, kalo emang jadi cewek sok kuat itu salah. Tapi masa bodoh dengan semua itu! Sekarang gue pengen jadi cewek sok kuat!
Gue bahkan pengen nyerah aja sampek disini! Tapi, gak tau kenapa. Hati gue gak bisa diajak kompromi! Gue masih berjuang buat ngebuktiin janji gue ke elo, Raf!
"Hm? Masak merah padam? Lampu di jalan aja kali yang ngebikin wajah gue kelihatan merah." Jawabku seakan aku biasa saja.
Hebat lo, Va! Lo emang munafik! Kenapa lo gak langsung ngomong aja tentang semua yang lo rasain? Dan sekarang lo malah masang wajah ceria lo buat Rafa. Lo gila, Va! Kelewat gila. Mana mungkin Rafa percaya gitu aja dengan alasan lo barusan? Konyol!
"Va, lo gak usah bohong ke gue lagi." Kini nada suaranya mulai serius.
Aku diam. Sepertinya jika aku menimpali setiap omongan Rafa, maka aku juga akan membuat kebohongan-kebohongan lainnya lagi. Maka dari itu, aku memilih untuk diam.
Rafa terlihat mengacak rambutnya frustasi, "Gue udah tau semuanya, Va. Liona udah cerita ke gue. Sebenernya mau sampek kapan lo nutupin ini semua dari gue?"
Li, lo nyeritain semuanya ke Rafa tanpa terkecuali?
*
Aku dan Rafa sampai di rumah sakit. Dengan cekatan Rafa menggendongku. Sebenarnya aku menolak untuk digendong seperti ini. Tapi dia memaksa. Alhasil aku hanya bisa menurut untuk kali ini. Lagipula, jika aku terus berjalan, maka darah di kakiku akan semakin banyak keluar.
*
"Lo denger kan tadi apa yang dibilang dokter?" Ucap Rafa sambil menuntunku menuju mobilnya yang terparkir. Aku sudah selesai mengobati kakiku.
"Hmm." Hanya itu jawabanku.
"Untung lo langsung gue anterin kesini. Coba kalo lo diemin aja tuh luka. Bisa fatal, Va." Rafa mulai bawel dengan kekhawatiran-kekhawatirannya, "Va!"
"Gue ulangin pertanyaan gue tadi. Mau sampek kapan lo nyembunyiin ini semua dari gue?" Tanya Rafa kembali. Aku memang bungkam saat dia bertanya sebelum kakiku diobati. Tapi untuk kali ini, sepetinya aku tidak bisa lagi untuk bungkam. Apalagi Rafa sekarang sudah menepikan mobilnya. Itu artinya, dia akan mengintrogasiku malam ini juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Willingness
Teen FictionAva : "Mungkinkah gue jadi separuh hidup lo?" Rafa : "Gue hampir berhasil sebelum semua itu terjadi." Jovan : "Lo yang paling gue sayangi semenjak Mama nggak ada." David : "Lo pelengkap hidup gue." Liona : "Lo sohib tersayang buat gue."...