Awal Dekat >10<

45 8 0
                                    

Rafa's POV
"Gue udah kenal lo, sebelum gue muncul di kehidupan lo." Aku tidak berkata bohong. Aku memang sudah lama mengenalnya. Mungkin sekitar 1 tahun. Aku tidak berkenalan dengannya secara langsung. Melainkan aku mencari tahu tentangnya terlebih dulu. Baru ketika aku sudah siap. Aku memutuskan untuk ikut dalam komunitas yang sama dengannya.

Aku mengaguminya jauh sebelum dia mengenalku. Bagaimana bisa? Entahlah.

Baru kali ini aku melihatnya menangis. Padahal biasanya dia terlihat kuat. Bahkan terlihat terlalu kuat bagiku. Dan baru kali ini juga aku melihat seorang perempuan menangis tapi masih bisa tertawa. Ya, aku menguping pembicaraannya tadi. Awalnya aku tidak sengaja. Tapi karena rasa penasaranku, akhirnya aku melanjutkan kegiatan mengupingku.

"Woy! Kok lo bengong? Ntar kesambet baru tau rasa lo!" Belum ada cewek yang bicara ceplas-ceplos kayak gini ke aku. Mungkin karena mereka sudah gemetaran berdiri di depanku dan juga sok jaim. Tapi Ava berbeda.

"Eh, enggak." Jawabku singkat.

"Ngapain lo kesini?" Tanyanya sambil menaikkan satu alisnya.

"Kalo pergi ke makam, keliatannya ngapain?" Tanyaku balik

"Jenguk orang yang udah nggak ada." Jawabnya enteng

"Nah itu lo tau. Kenapa harus nanya?" Sahutku yang langsung membuat dia terlihat sedikit sebal

"Hish! Lo itu ya! Nggak usah sok dingin deh di depan gue. Lo bisa kan ramah sama gue? Kayak lo ramah sama Mama lo." Perkataan dia tepat sekali! Kenapa dia tau kalau aku hanya berpura-pura dingin di depannya? Apakah aktingku selama ini nggak berhasil?

"Kenapa lo nganggep gue sok dingin di depan lo?" Tanyaku meminta penjelasan

"Mata lo yang berbicara. Udah, mulai sekarang lo nggak usah pura-pura dingin. Be yourself." Nasehatnya sambil menepuk kedua pundakku. Mataku berbicara? Sejak kapan mataku punya mulut?

"Bwahahaha.. Gue cuma bercanda." Dan sekarang dia bilang kalau dia sedang bercanda? Aku yang lemot atau dia yang terlalu 'aneh'?

"Jadi, maksud lo gimana?" Tanyaku

"Gue cuma bercanda tadi. Gue nggak tau mata lo bicara apa. Gue nggak tau aslinya lo itu gimana. Awalnya gue bilang gitu biar lo bisa ketawa atau apa kek. Jangan lempeng terus wajah lo! Taunya wajah lo datar mulu." Jelasnya. "Terus, lo kesini jenguk siapa?" Sambungnya

"Mama gue." Jawabku

Tiba-tiba dia berdiri bersejajar di sampingku. Lengan kanannya merangkul bahuku. Padahal dia tau kalau aku lebih tinggi dari dia, tapi tetep aja ni bocah nekat ngerangkul bahuku. "Udah, Mama lo pasti tenang disana. Asal anaknya jadi orang yang baek aja." Ucapannya menenangkan. Sebelumnya tidak pernah ada yang mengatakan kalimat yang begitu menenangkan seperti itu selain Mamaku.

"Jadi, menurut lo gue belum jadi anak baek gitu?" Tanyaku

"Lo pikir aja sendiri." Jawabnya tenang

Aku hanya mengernyitkan dahiku.

"Ngomong-ngomong lo tinggi bener ya! Gila ini mah. Gue sampek jinjit tau nggak?" Ucapnya sambil melihat kakinya yang benar-benar jinjit hanya untuk merangkul bahuku. "Gue berasa pendek deket sama lo." Sambungnya

"Bwahahaha.. Siapa suruh lo ngerangkul pundak gue?" Aku tidak percaya bahwa baru saja aku tertawa di sampingnya. Benar-benar tertawa.

"Yeee malah ketawa nih bocah." Balasnya dengan wajah terlihat sedikit sebal

"Elo tuh yang bocah. Umur gue setaon di atas lo." Ucapku ketika dia melepaskan rangkulannya

"18 taon ya lo? Kuliah dong? Semester berapa? Satu?" Tanyanya dengan raut penasaran

WillingnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang