Pamit >20<

36 4 4
                                    


Ava's POV

"Besok gue mau pergi buat ngelanjutin kuliah."

Aku terkehut mendengar penuturannya. Tiba-tiba banyak hal yang tidak aku inginkan terbayang dalam pikiranku. Aku mulai membayangkan Rafa yang tiba-tiba pergi jauh dengan waktu lama. Rasanya seperti ketidakadilan sedang berteman denganku. Dia berpamitan ingin pergi padahal kedekatan kami belum cukup lama.

Aku yang masih berusaha untuk menjadi separuh hidupnya pun seperti tak diberi kesempatan lebih lama lagi. Apa mungkin ini pertanda jika aku memang tidak pantas untuk menjadi separuh hidupnya? Lalu kalau begitu kenyataannya, mengapa dulu aku pernah diberi kesempatan itu? Kalau boleh memilih, aku lebih ingin untuk tidak diberi kesempatan itu sedikitpun.

"Besok? Emang ke mana?" Tanyaku. Mataku menatap wajahnya yang kini ditembaki oleh sorot lampu kendaraan.

"Ya, besok. Bukan lusa. Tapi besok." Dia diam seebentar sebelum melanjutkan. Seperti sedang menyiapkan sebuah kesiapan yang matang untuk menjawab. Jari-jemarinya mengetuk-ngetuk kemudi. Seperti mencoba menciptakan sebuah irama yang diharap bisa menetralkan suasana.

"Ke LA." Ucapnya kemudian.

Aku diam seribu bahasa. Mencoba mencerna jawabannya yang sebenarnya memang mudah untuk dicerna. Sejauh itukah dia pergi?

"Wow! Jauh banget." Aku tidak ingin menahannya, "Semangat kuliah disana, Raf." Aku memalingkan wajahku menatap kaca jendela di sampingku

Rafa terkekeh mendengar responku. Mungkin karena aku yang tidak menampakkan ekspresi sedih sekalipun. Tapi asal dia tau saja. Aku sedang berusaha untuk tidak menahannya. aku sedang berusaha untuk tidak menghambat masa depannya kelak.

"Gue kira lo bakal mewek pas denger gue pamit." Ujarnya.

*Emang iya kok, Raf. Gue emang bakal mewek setelah denger lo bilang itu. Tapi kalo gue mewek, nggak bakal ngerubah keputusan lo buat ngelanjutin kuliah disana kan? Lagian gue ngerti kalo gue bukan siapa-siapanya lo. Dan gue tau kalo gue nggak berhak buat nahan lo disini. Gue cukup tau diri kok, Raf*

Aku terkekeh untuk menutupi kesedihanku saat ini, "Ya nggak lah! Mana mungkin gue mewek? Lagian kan lo bakal ngelanjutin kuliah disana. Lo bakal ngegapai masa depan lo disana. Ya mana pantes gue ngerecokin usaha lo buat ngeraih masa depan?"

"Sok bijak lo, Oneng."

"Ish, Somplak!"

***

Dan pada akhirnya, aku berdiri disini. Menatap punggung Rafa yang kian menjauh. Semakin jauh dia berjalan masuk, semakin tak terlihat pula sosok tubuh tegapnya. Aku hanya bisa berdiri disini menatap kepergiannya setelah sempat mendapatkan pelukan terakhir sebelum dia berangkat. Tapi, dia bilang itu bukan pelukan terakhir. Karena esok hari, entah kapan, dia berjanji akan kembali. Dan aku mempercayainya.

Aku selalu merapalkan kalimat terakhirnya sebelum dia berangkat.

Tunggu gue. Gue bakal balik lagi buat ketemu sama lo. Jangan pernah berubah. Jangan pernah putus asa buat jadi separuh hidup gue. Karena gue bakal ngelakuin hal yang sama.

Untuk waktu yang entah sampai kapan. Untuk perasaan yang entah akan jadi bagaimana. Untuk kenyataan yang entah akan datang dalam wujud seperti apa. Kalimat itu akan terus terapalkan dalam ingatan yang sama.

"Yakin dia bakal balik?" Liona yang tadi kuminta untuk menemaniku ke bandara sekarang membuka mulut.

Aku mengangguk, "Yakin."

"Yah, semoga dia bisa dipercaya." Liona terdengar seperti meremehkan ucapan Rafa. Entah apa yang ada di pikiran sahabatku sekarang ini. Yang jelas, aku mempercayai ucapan Rafa.

WillingnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang