Ava's POV
"Yaudah buat berdua." Ucapnya masih saja sambil mengetik. Aku diam. Sulit rasanya untuk mencerna perkataannya.*Makan berdua? Gue gak salah denger? Lo mau makan sepiring buat berdua dan itu sama gue?*
"Va, dimakan cepet elaaahh! Keburu entar gue habisin." Ucap Rafa sambil mengunyah sesuatu. Tunggu! Dia sedang mengunyah makanan yang baru saja dia sendok dari piringku. Dan sekarang dia sudah merubah posisi duduknya menjadi berhadapan denganku.
"Loh? Gue kan belom bilang kalo gue mau makan sepiring berdua sama lo!" Bentakku tiba-tiba. Aku tidak bisa membayangkan jika harus makan sepiring berdua dengannya dan harus menggunakan sendok yang sama dengannya.
"Nih." Dia memberikanku sendok dengan tangan kanannya. Padahal tangan kirinya juga masih memegang sendok. Jadi Rafa tadi mengambil dua sendok? "Buruan dimakan. Banyak mikir banget sih lo. Ntar diomelin Abang lo, tau rasa nanti." Sambungnya lagi. Seperti biasa, Rafa menjadi rada-rada galak kalau lemotku kambuh.
Akhirnya akupun menurut. Ini untuk pertama kalinya aku makan sepiring berdua dengan laki-laki selain Papa dan Kak Jovan. Aku mulai menyendok makanan di atas piring yang aku pegang saat ini. Terasa aneh.
"Tadi katanya lo mau ke kamar mandi? Kok tiba-tiba ngambilin gue makan?" Tanyaku setelah menelan makanan yang sudah aku kunyah.
"Boong gue. Di kamar gue kan ada kamar mandi. Jadi, mana mungkin gue makek kamar mandi di luar. Kecuali kalo kamar mandi gue lagi rusak. Lagian gue tadi juga belom sempet makan siang. Sekalian ajalaah buat berdua." Jelasnya sambil tertawa diakhiri dengan senyum jahilnya.
*Berhenti memasang wajah seperti itu. Risih gue. Tapi gue suka*
Aku tidak tau kenapa bisa membatin seperti itu. Suka? Sejak kapan aku suka Rafa? Oh! Mungkin sejak saat ini.
"Tuh! Lo sengaja kan mau makan berdua sama gue? Dan pasti tadi semua makanan di meja lo umpetin semua! Bener kan gue?" Tanyaku lagi. Sedikit sebal sebenarnya, tapi--
"Nggak." Jawabnya sambil mengedikkan bahunya. "Nggak tau juga yee." Sambungnya lagi sambil cengengesan. Kayaknya kalau dia lagi nggak di depan laptop, dia bisa kembali jahil seperti biasa. Jadi, dia bakal serius kalau lagi ngerjain tugas. Dan seriusnya itu pakek banget.
"Jangan harap gue kemakan sama modusan lo!" Sahutku. Aku hanya mencoba memasang wajah-wajah biasa seperti awal kami bertemu. Tapi rasanya sekarang sedikit susah untuk memasang wajah itu.
Hening sebentar, dan--
"Iya gue tau." Jawabnya yang menurutku terdengar seperti penyesalan. Seperti ada sesuatu yang dia ketahui dan membuat suaranya seketika melemas. Labil banget sih jadi orang. Tadi serius, habis itu cengengesan, dan sekarang jadi lesu gini?
"Raf?" Panggilku memastikan dia tidak apa-apa. Karena setelah menjawab omonganku tadi, seketika wajahnya tampak lesu. Dan gerakannya kurang bersemangat untuk menyendok makanan. Dia tampak menyesali sesuatu. Tapi bodohnya aku. Aku tidak tau sesuatu itu apa.
"Hm?" Tatapan teduh itu, mirip ketika dia meminta maaf kepadaku saat itu.
"Lo kenapa deh? Daritadi bengong mulu! Makan woy, somplaak!" Ucapku dengan nada yang tidak terdengar santai. Aku harap dengan nada bicaraku seperti ini, dia bisa jengkel kepadaku dan melupakan sesuatu itu. Sesuatu yang membuatnya menyesal.
Aku mengambil paksa sendok yang dia pegang. Sementara sendokku aku taruh di atas piring. Aku menjejalkan satu suapan ke mulutnya. Biar dia nggak bengong lagi.
"Antagaa jahat ya lo!" Ucapnya tidak terima ketika dia sudah berhasil menelan sesuap nasi yang aku berikan.
"Salah sendiri daritadi bengong mulu! Gue gak mau ada di hadapan orang yang suka bengong gak jelas. Gue takut kalo nanti juga bakalan ikut kesambet." Ucapku disusul dengan tawa.
Rafa's POV
"Iya gue tau." Entah kenapa, rasa takutku itu muncul lagi. Takut untuk menyakiti seorang perempuan dan takut untuk merasakan sakit itu 'lagi'. Tiba-tiba saja aku menjadi malas. Bahkan untuk menyendok makanan ini saja seperti tidak bertenaga.Perasaan takut itu kembali 'lagi'. Dia kembali ketika aku mulai bisa dekat dengan orang yang selama setahun ini aku perhatikan dari balik bayangan tiap-tiap orang.
Aku berhasil membuang perasaan takut itu. Kemarin. Kemarin ketika aku memberanikan diri menemuinya di taman.
Dan aku pikir semua berhasil. Aku pikir rasa takut itu telah ku buang jauh-jauh.
Tapi ternyata salah. Aku membuangnya. Tapi rasa takut itu masih tersangkut. Dan aku tidak mengetahuinya. Mungkin aku terlalu nyaman di dekat gadis ini. Gadis di depanku."Raf?" Panggilan itu. Aku tau, pasti kamu melihat ekspresiku ini. Ekspresi yang sungguh tidak enak untuk dilihat.
"Hm?" Hanya itu tanggapan yang bisa aku beri.
"Lo kenapa deh? Daritadi bengong mulu! Makan woy, somplaak!" Dalam hati aku tertawa mendengar ocehannya. Gadis ini. Dia hanya sopan kepada orang yang lebih tua dan terpaut jauh. Tapi kalau bersama dengan orang yang tidak terpaut jauh dengannya, maka dia akan blak-blakan. Dengar saja. Bahkan dia menyebutku dengan sebutan 'somplak'. Hanya dia yang menyebutku seperti itu. Tapi entahlah, aku biasa saja.
Mungkin saking sebalnya dia sama aku, tiba-tiba dia menjejaliku dengan sendok yang penuh dengan nasi. Seketika aku berusaha untuk mengunyah semua nasi yang sudah masuk ke mulutku.
"Astagaa jahat ya lo!" Ucapku setelah berhasil menelan suapan Ava tadi. Suapan yang sama sekali tidak ada bagus-bagusnya.
"Salah sendiri daritadi bengong mulu! Gue gak mau ada di hadapan orang yang suka bengong gak jelas. Gue takut kalo nanti gue juga bakalan ikut kesambet!" Sahutnya
*Karena lo, Va. Lo yang bikin gue suka bengong*
***
Karena aku bingung mau bikin kayak gimana. Yaa jadilah seperti ini. Kalo monoton gapapa lah. Wkwkwk :D
XOXO, Qifa
KAMU SEDANG MEMBACA
Willingness
Teen FictionAva : "Mungkinkah gue jadi separuh hidup lo?" Rafa : "Gue hampir berhasil sebelum semua itu terjadi." Jovan : "Lo yang paling gue sayangi semenjak Mama nggak ada." David : "Lo pelengkap hidup gue." Liona : "Lo sohib tersayang buat gue."...