Lepasan Rasa >25<

9 1 0
                                    

Author's POV

Hari ini Ava ingin membuang amarahnya. Maka ia memutuskan untuk pergi dari rumah kemudian berjalan menuju halte yang paling dekat. Ransel yang biasa ia kenakan menyampir koyak di lengan kanannya. Celana dan jaket hitam berpadu kontras dengan kaos putih yang ia kenakan. Seperti biasa, rambutnya dikuncir kuda asal. Headset senantiasa terpasang di kedua telinganya meskipun sebenarnya tak ada sedesahan suara pun yang keluar dari benda mungil itu.

"Bodoamat gue mau pergi. Gue pengen bebas bentar. Bodo. Bodo." Cerca Ava sambil duduk mengamati kendaraan yang berlalu lalang.

"Mau pergi kemana lo?" Sebuah suara menyahut.

Segera Ava menoleh dan mendapati seorang laki-laki tegap berdiri di ujung halte bus. Seseorang itu mengenakan jaket hitam seperti dirinya. Ditatapnya lagi orang itu.

"Kak Jo?" Tanya Ava tanpa bisa mengontrol keterkejutannya.

Dengan langkah perlahan, Jovan berjalan mendekati Ava. Dia mengambil tempat duduk disamping adik perempuannya itu.

"Gue tau apa yang lo rasain sekarang." Ucap Jovan sambil mengelus puncak kepala Ava dengan sayang. Tatapan yang diberikan Jovan membuat Ava seketika merasakan kehangatan tersendiri. Tanpa ada gengsi, Ava langsung menghambur ke dalam pelukan Jovan.

"Thank's ya, Kak! Gue nggak tau kenapa bisa jadi secengeng ini. Tapi, gue bener-bener butuh pelampiasan dan," Ava menghela nafasnya pelan, "perhatian."

Jovan membalas pelukan Ava. Ditenangkannya adik satu-satunya itu lewat pelukan sederhana yang terjadi secara tiba-tiba.

"Selama ini lo nggak pernah sadar ya kalo gue itu udah perhatian sama lo? Atau emang lo nya aja yang kelewat nggak peka, hm?" Sanggah Jovan sambil melepaskan pelukannya. Ditatapnya mata indah yang sedang menahan air mata itu, "Kalo mau nangis, ya nangis aja kali. Nggak usah sok kuat kalo ada di hadapan gue." Ujar Jovan dengan nada mengejek.

Ava pun tertawa lepas diikuti air matanya yang mengalir.

"Lah, ini bocah aneh. Ketawa sama nangis bisa barengan gini. Satu-satu aja kenapa sih?" Jovan berkomentar seakan dia tidak pernah melihat Ava menangis. Padahal, dialah yang sangat memahami Ava lebih dari siapapun.

"Lah, ini bocah pikun. Suka-suka gue kenapa sih?" Balas Ava dilanjutkan dengan tawa lepasnya. Raut wajahnya yang kentara itu tertutupi oleh tawa yang menghibur.

Mereka berdua pun tertawa lepas akibat kebanyolan-kebanyolan yang berhasil mereka ciptakan. Suatu hal yang musti disyukuri karena mereka masih punya saudara yang saling mendukung satu sama lain. Tidak peduli jika jarak sempat memisahkan mereka. Namun ikatan darah tak bisa dipungkiri lagi. Sesederhana itukah melepas rasa dengan saudara?

Rafa's POV

Benar-benar tidak bisa dimaafkan. Bagaimana mungkin aku hanya diam saja sementara perempuan yang aku cintai kian hari makin tersakiti? Atau mungkin aku yang terlalu menganggapnya lemah. Dia, berbeda. Dari pertama kali aku melihatnya, dia memang benar-benar berbeda. Rasanya seperti ada sesuatu yang menarik perhatianku lewat cara dia bertingkah. Atau aku saja yang sedang dimabuk cinta?

Aku bersepeda mengelilingi kompleks dengan perasaan yang bimbang. Harusnya setelah kejadian beberapa hari lalu, aku langsung menghubungi Ava. Tapi kenyataannya, aku sama sekali tak menyapanya lagi barang lewat media chatting sekalipun. Mungkin benar, aku memang sepengecut itu. Aku sepecundang itu.

"Arrgh! Kenapa gue dibuat jadi kalut gini sih?" Erangku sambil mengayuh sepeda lebih kencang.

Tidak peduli seberapa ramai jalanan saat ini, aku tetap mengayuh sepedaku secepat yang aku bisa. Rasanya amarah sudah membuncah dalam pikiranku. Tidak ada lagi yang bisa ditahan. Wanita yang mengisi relung hatiku kini membuatku berada dalam kekalutan yang fana.

"Gue harus ngomong sama Ava." Tiba-tiba sebuah ide terlintas di otakku. Aku menghentikan laju sepedaku dan menepi di depan pertokoan yang sudah tutup. Sejurus kemudian aku mengeluarkan ponselku untuk menghubungi Ava.

Ava's POV

Di tengah perjalanan pulang, tiba-tiba ponselku berdering. Tumben sekali ada yang mau menelfonku malam-malam begini. Padahal biasanya yang suka menelfonku itu Kak Jovan atau Liona atau seseorang itu. Argh, aku masih sedikit kesal mengingat laki-laki itu. Kuambil ponselku di saku celana. Dan ternyata nama itu tertera jelas di layar ponselku. Apakah urusannya denganku belum selesai?

"Siapa?" Tanya Kak Jovan.

"Rafa." Jawabku singkat sambil tetap fokus pada ponselku. Aku masih memandangi layar ponselku. Terlalu lama menimang-nimang antara menjawab telfon orang menyebalkan ini atau tidak.

"Angkat aja, Va." Ujar Kak Jovan, "Siapa tahu dia mau kasih kata-kata perpisahan."

Aku yang mendengar perkataan Kak Jovan pun langsung tersentak.

"Tega banget sih lo bilang gitu Kak. Lo seneng ya kalo gue beneran pisah gitu aja sama Rafa?" Protesku.

"Jadi manusia itu harus bisa menerima segala keputusan, Va." Kak Jovan mulai berlaga seperti seorang penasihat. Menyebalkan.

Akhirnya kuangkat juga panggilan itu. Awas saja jika yang kudengar adalah penambahan rasa sakitku saat ini.

"Kenapa?" Tanyaku tanpa basa-basi. Menurutku itu membuang waktu saja.

Orang yang di seberang sepertinya tengah menghela nafas dalam. Entah kenapa.

"Va, gue mau ngomong sama lo." Ucapnya kemudian. Suaranya begitu berat dan terdengar seperti memohon menurutku.

"Yaudah ngomong aja."

"Gue mau ketemu sama lo."

"Lo mau ngomong sama gue apa mau ketemu sama gue?" Tanyaku mulai geram. Tidak bisakah orang ini memilih satu saja? Kenapa seenaknya begitu mengajukan 2 permintaan sekaligus? Serakah sekali.

"Ketemu sambil ngomong"

Aku mendengus, "Gaada waktu. Ngomong sekarang apa susahnya?"

"Please, Va." Dia benar-benar memohon. Mungkin kalau seandainya dia ada di hadapanku sekarang ini, posisinya berjongkok sambil memohon-mohon dengan memalukan.

Aku pun diam sejenak. Menimang-nimang sebuah keputusan. Sebenarnya aku mau saja jika bertemu dengannya. Namun aku belum siap. Sepenuhnya perasaanku belum juga bisa lepas darinya. Ini menyesakkan.

"Oke. Kapan?" Akhirnya aku luluh juga. Tidak tega membiarkan orang ini sengsara begitu.

"Sekarang."

"Eh, yang bener aja dong lo!" Aku yang tidak terima pun sedikit membentak. Ya apasih maksudnya mengajak ketemu saat ini juga? Tidak bisakah dia bilang sejam lagi, tiga jam lagi, atau mungkin besok? Memangnya susah ya menunggu sebentar saja? Hah?!

Rafa tidak langsung memberikan respon. Mungkin dia mau berpikir dulu. Aku pun terpaksa menunggu. Heran juga mengapa otak orang ini berjalan begitu lama sehingga aku harus menunggu selama ini. Oke, ini belum ada 1 menit aku menunggu. Tapi sungguh, ini sangatlah membosankan.

Akhirnya setelah aku berjuang dengan kesabaranku, helaan nafas terdengar dilanjutkan suara seorang laki-laki, "Oke, dua jam lagi gue ke rumah lo." Akhirnya dia membuat sebuah keputusan. Dua jam tidak terlalu lama dan tidak terlalu cepat. Okelah, aku langsung mengiyakan ajakannya. Toh, dia juga yang datang ke rumahku. Jadi aku tinggal menunggu sambil bersantai-santai di rumah.

"Oke."

WillingnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang