Ava's POV
"LO?"
Aku berdiri sambil telunjukku mengarah padanya. Kaget bukan kepalang melihat siapa orang yang kini berdiri dengan tegapnya di depanku. Mengenakan kaos lengan panjang biru gelap serta celana panjang abu-abu. Kontras dengan warna kulitnya. Rambutnya masih seperti dulu. Pendek dengan gayanya sendiri.
"Nggak sopan banget sih lo. Ketemu Abangnya malah kaget bilang 'LO?' kayak nggak ada kalimat yang lebih bagus aja." Cibirnya sambil menirukan ekspresi kagetku tadi. Aku masih tidak percaya jika di depanku kini ada Kak Jo. Biasanya jika dia ingin pulang, dia akan mengabari dan pasti meminta dijemput.
"Abangnya pulang itu dipeluk, dicium, gitu kek kenapa dah? Ini cuman diliatin doang." Kak Jo mengomel lagi. Aku yang tersadar dari lamunanku pun merentangkan lenganku sambil berdiri. Dengan cepat, Kak Jo berjalan mendekat ke arahku kemudian memelukku dengan erat. Harusnya aku yang berjalan menghampirinya kemudian memeluknya. Tapi, memang beginilah aku jika bertemu dengan Kakakku.
"Kangen sama Abang tukang ngomel." Ucapku kemudian. Aku membalas pelukannya dengan erat.
"Gue juga kangen Adek mirip laki." Balasnya sambil terkekeh. aku tau jika dia terkekeh dari dadanya yang bergetar ditemani suara kekehan khasnya.
Setelah hening beberapa menit, Kak Jo pun angkat bicara, "Jalan yuk!" Ajaknya sambil merenggangkan pelukannya agar dia bisa melihat wajahku.
Aku juga ikut merenggangkan pelukanku, "Lah? Lo nggak capek apa habis perjalanan jauh?" Tanyaku kemudian.
"Enggak lah. Gue kan beneran laki." Jawabnya.
"Iya-iya. Yang laki beneran." Cibirku, "Trus mau pergi ke mana emang?" Lanjutku.
"Ke suatu tempat rekomendasi dari David. Katanya bagus gitu." Jawabnya sambil menarik lenganku untuk berjalan. Aku dan Kak Jo beriringan menuju tempat parkir. Disanalah mobilku terparkir. Untung saja tadi Kak Jo ke kampusku naik taksi. Jadi tak perlu repot-repot memikirkan kendaraan yang kemungkinan dibawa Kak Jo.
"Lo yang nyetir." Ucapku sambil melemparkan kunci mobil padanya. Dan dengan sigap dia segera menangkap kunci yang aku lemparkan. Kami berdua duduk di dalam mobil yang mulai berjalan menuju tempat tujuan. Di perjalanan kami juga berbagi cerita. Ya walaupun Kak Jo lebih banyak menghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaannya.
"Gimana kabar doi lo itu?" Tanya Kak Jo sambil menginjak rem karena lampu merah yang menghentikan kami.
"Doi sape sih?" Tanyaku balik seolah-olah aku tidak tahu siapa orang yang dia maksud. Pasti Kak Jo akan menembakiku dengan berbagai pertanyaan mengenai Rafa.
"Ya itulah, si Rafa."
"Nggak tau deh. Nggak ada kabar." Jawabku sambil mengedikkan bahu acuh. Toh, benar kok jika Rafa tidak pernah ada kabar. Bahkan sepupu Rafa, si Tommy, saja tidak tahu bagaimana kabarnya. Apalagi aku yang bukan siapa-siapanya dia.
"Kalo nggak dikabarin, ya jangan galau nggak jelas gitu dong." Ujarnya sambil memutar kemudi ke kanan. Mendekati tempat yang sepertinya pernah aku singgahi.
"Ini jembatan yang waktu itu. Rafa pernah ngajak gue ke sini." Ucapku dengan mata melebar kaget. Menghiraukan kalimat Kak Jo barusan.
"Maksudnya dulu pernah kencan disini?" Tanya Kak Jo terdengar seperti mengejek. Atau sepetinya memang benar dia mengejekku.
"Kencan pala lo peyang? Udah cepetan ah parkir mobilnya!" suruhku galak. Kedua lenganku kulipatkan di depan dada. Memasang wajah sebalku. Sementara Kak Jo sibuk memarkirkan mobil ditemani dengan tawanya. Apalagi kalau bukan menertawaiku.
Setelah selesai memarkirkan mobil, Kak Jo pun segera membuka pintu mobil. Sebelum dia keluar, aku terlebih dulu bicara kepadanya, "Bukain pintu." Suruhku masih dengan tampang sebal.
Namun, bukannya Kak Jo membukakan pintu untukku, dia malah memanggil orang lain. Kemudian datanglah seorang laki-laki yang berjalan mendekatinya. Kak Jo pun mendekatkan wajahnya di telinga laki-laki itu. Terlihat seperti mebisikkan sesuatu. Laki-laki yang dipanggil Kak Jo hanya mengangguk pertanda paham akan apa yang dibisikkan Kak Jo.
Seusai dibisiki, laki-laki itu berjalan ke arah mobilku. Dia berjalan dengan senyum yang membuat diriku ingin muntah begitu saja. Tak disangka, dia berjalan menuju pintu di sampingku. Membuka pintu itu kemudian berkata, "Silakan turun, Mbak." Ucapnya dengan nada sok dilembut-lembutkan. Membuatku ingin mengamuknya apalagi Kak Jo. Aku tahu jika ini adalah perbuatan Kak Jo.
Aku keluar kemudian menutup pintu mobil yang tadi dipegang laki-laki itu dengan keras. Tatapan tajamku berhasil membuat senyuman laki-laki itu hilang begitu saja. Kuhiraukan laki-laki itu yang kini mungkin sedang tertegun kaget. Aku berjalan menghampiri Kak Jo yang sudah mengantri di salah satu gerobak pedagang.
"Dasar Abang nggak guna lo!" Amukku padanya. Dia hanya menoleh ke arahku sekilas kemudian melanjutkan kesibukannya dengan Ibu penjual makanan.
Aku makin dibuatnya kesal karena dia selalu saja menghiraukanku jika sudah punya kesibukan tersendiri. Pasti kini aku terdengar manja. Tapi, ayolah. Aku juga masih memiliki sisi perempuan yang sama seperti perempuan lain. Apalagi kini ketika aku sudah menjadi mahasiswi, aku menjadi sedikit lebih memiliki sisi perempuan asli. Sedikit.
***
Aku mencari tempat duduk yang menurutku paling nyaman. Diikuti Kak Jo yang berjalan dengan kedua tangan masing-masing membawa 1 makanan dan 1 minuman. Kami berjalan menyusuri jembatan besar ini. Sekelebat ingatan ketika malam itu pun tak jarang melintas di pikiranku. Membuatku tidak konsen dengan kegiatanku sendiri.
Pada akhirnya, aku memutuskan untuk duduk di trotoar yang lumayan redup dari sinar matahari. Mungkin karena efek pohon besar yang ada di tepian sungai. Atau mungkin aku hanya mengkhayal saja jika pohon besar itu dapat mencapai tempat ini.
"Nih, minuman lo." Kak Jo menyodorkan minuman yang sedari tadi dibawanya. Dia tau jika aku masih marah dengannya. Maka dari itu, dia membawakan minumanku.
Aku mengambil alih minumanku dari tangannya. Masih saja mulutku ini ingin bungkam. Malas untuk mengeluarkan kalimat yang sepertinya akan sia-sia.
"Jadi, dulu lo pernah diajak Rafa kesini buat ngapain?" Tanyanya kemudian. Mungkin dia sudah jengah dengan keheningan diantara kami.
Aku menengadah sebentar kemudian meneguk minumanku, "Cuman jalan doang. Nemenin dia jajan sate." Jawabku tanpa ada unsur kebohongan. Sepertinya.
"Sate? Berarti sama kayak yang gue beli ini dong?" Tanyanya lagi.
"Yep."
"Oiya, foto yang lo kirim waktu itu beneran Rafa?" Kak Jo sepertinya sedang menjelma menjadi seorang pewawancara.
Aku mengangguk sebagai jawaban. Menatap aliran sungai di bawahku.
"Dia tinggi kan ya?"
Aku mengangguk lagi.
"Rambutnya item kan?"
Lagi-lagi aku mengangguk. Tak mengalihkan pandanganku.
"Alisnya rada tebel kan ya?"
Aku mengangguk untuk kesekian kalinya.
"Gantengnya mirip gue kan?"
Untuk kali ini, aku tidak ingin mengangguk begitu saja, "Nggak juga. Lebih manis dia." Jawabku kini dengan senyum tipis membayangkan wajah Rafa kembali.
"Wah, berarti sama kayak tuh cowok dong? Kalo diliat-liat mirip Rafa juga kok." Ucap Kak Jo. Aku segera menatap Kak Jo yang sedang mengarahkan pandangannya ke belakangku. Aku pun ikut memandang ke arah yang sama.
***
Alan Walker - Faded
Tinggal beberapa chapter lagi, maka cerita ini resmi kelar .. Haha :D
XOXO,
Qifa
KAMU SEDANG MEMBACA
Willingness
Teen FictionAva : "Mungkinkah gue jadi separuh hidup lo?" Rafa : "Gue hampir berhasil sebelum semua itu terjadi." Jovan : "Lo yang paling gue sayangi semenjak Mama nggak ada." David : "Lo pelengkap hidup gue." Liona : "Lo sohib tersayang buat gue."...