Bananabelle >17<

44 5 0
                                    

Ava's POV
"Ava! Lo bisa nggak sih berhenti nyakitin diri lo sendiri?! Nih liat akibatnya!" Omel Liona saat membantu mengobati lengan dan kakiku yang terluka akibat jatuh dari sepeda.

"Gue gak nyakitin diri gue sendiri kalik, Li." Dengusku sambil memerhatikan Liona yang cekatan mengobati lukaku.

"Sini guling lo! Buat ngeganjel kaki lo!" Suruhnya dengan amarah yang masih meledak-ledak.

"Nih." Ucapku sambil melempar guling milikku ke arah Liona.

"Lo itu kenapa gak bilang Kak Rafa sih kalau Naura itu ngancem lo?! Ya kalo ngancem doang sih gapapa gak bilang. Lah ini! Lo sampek diserempet segala sama suruhannya si Naura! Dasar wewe gombel gila! Gue gak terima sohib gue diginiin! Mentang-mentang anak kuliahan kelakuannya bisa seenak jidat gitu!" Ucap Liona menggebu-gebu. Kalau Liona sedang marah besar memang seperti ini.

"Anggep aja ini bagian dari usaha gue." Ucapku sambil mencoba menenangkan Liona yang terlihat merah padam.

"Kok lo gak ngehajar dia aja sih, Va?! Biasanya aja kalo sama cowok lo langsung main timpuk aja!"

"Argh!" Teriakku menahan sakit karena Liona tidak sengaja menimpuk lukaku yang seharusnya dia obati.

"Eh, sorry sorry gue gak sengaja. Gue emosi, Va pengen nimpuk wajah tuh cewek pakek penggaris besi!"

Aku terkekeh mendengar ucapan Liona, "Beneran lo berani nimpuk wajah dia pakek penggaris besi?" Tanyaku meremehkan. Aku yakin Liona hanya menggertak. Karena setiap kali Liona melihat aku berkelahi dengan cowok, pasti dia sibuk menutup telinganya ketakutan.

"Ya enggak juga sih, Va." Ucapnya kini sambil cengengesan, "Lo kan tau kalo gue anti sama yang namanya main fisik."

"Iya gue tau." Ucapku sambil tersenyum, "Udah selesai ngobatinnya?" Tanyaku sambil memencet luka di tanganku yang tadi sudah lebih dulu selesai diobati Liona.

"Belom, bentar lagi. Lukanya lumayan ini." Ucapnya sambil meneteskan obat merah pada luka di kakiku.

"Sip! Selesai!" Ujarnya bangga.

"Thank's, Li. Lo udah mau ngobatin gue selama ini."

Liona menghembuskan nafasnya dengan kasar, "Jujur, gue capek, Va. Bukan capek untuk ngobatin lo. Tapi capek ngeliat lo dengan jidat ditambal lah, jalan pincang lah, baju seragam basah, sepatu robek, ban bocor, dan bla bla bla. Gue gak tega, Va!"

"Gue lagi belom mau ngebales dia, Li." Ucapku sambil menepuk-nepuk pundak Liona.

Kini mata Liona berkaca-kaca, "Gue baru tau. Ternyata lo orangnya bisa sabar juga, Va. Biasanya aja lo langsung bag big bug. Tapi, lo sabar ngehadepin Naura. Wewe gombel yang ngejar-ngejar Kak Rafa tanpa punya urat malu." Tangis Liona kemudian pecah, "Tapi please, Va! Hiks, lo jangan nyakitin diri lo sendiri, hiks, kayak gini. Usaha ya usaha. Tapi, hiks, inget sama diri lo."

Aku memeluk Liona mencoba menenangkannya.

*Kadang gue juga capek, Li buat nahan ini semua. Tapi gak tau kenapa tiba-tiba gue jadi penyabar kek gini. Padahal lo tau gimana sensinya gue*

"Udah, Li. Selama lo masih di samping gue. Nyemangatin gue. Gue bakal kuat!" Ucapku meyakinkannya. Aku dapat merasakan Liona yang menangis sesenggukan. Air matanya jatuh di pundakku. Aku kini hanya bisa mengelus punggungnya lembut.

Aku seketika teringat akan sesuatu.

"Eh, Li! Lo jadi ngajakin gue nonton konser gak?" Tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.

Liona melepaskan pelukannya sambil mengusap air matanya, "Lo beneran mau? Kemarin lo nolak permintaan gue."

"Sekarang udah berubah. Gue mau kok. Tapi lo yang beliin tiketnya ya." Ucapku sambil nyengir lebar.

WillingnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang