Pernyataan >16<

44 3 0
                                    

Ava's POV
Rafa membawaku pergi entah kemana. Daritadi aku tetap bungkam dan enggan untuk bertanya kepadanya. Pandanganku sekarang tertuju pada lampu-lampu yang menghiasi kota metropolitan ini.

Entah berapa lama aku melamun, yang pasti sekarang motor Rafa sudah berhenti. Bahkan sudah terparkir. Segera dia melepaskan helm yang aku pakai lalu menggamit tanganku. Dia mengajakku berjalan menyusuri tepian jembatan besar. Jembatan yang menyuguhkan pemandangan kota malam hari.

"Ngapain ngajak gue kesini?" Tanyaku melepaskan kebungkamanku.

Kini tangan Rafa merangkul pundakku, "Gue laper."

"Laper apa baper?" Tanyaku tanpa ada unsur godaan sedikitpun.

Setelah aku bertanya, kepala Rafa mendekat di samping telingaku kemudian berbisik, "Kalo dua-duanya?"

"Iih! Geli kuping gue! Ngomong biasa juga bisa kan? Pakek acara bisik-bisik segala!" Omelku kemudian. Telingaku benar-benar terasa geli ketika dia berbisik.

Rafa kemudian tertawa puas sedangkan aku menggaruk-garuk telingaku yang terasa geli dan gatal. Rafa mengajakku berhenti di dekat Ibu-Ibu penjual sate ayam yang menggelar dagangannya di tepi jembatan. Lengkap dengan tikar-tikar yang sudah berjejer rapi untuk para pelanggan. Disini memang tempat yang ditujukan para penjual untuk berjualan. Jadi tidak perlu khawatir dengan kedatangan Satpol PP.

"Bu, beli satenya satu porsi ya." Ucapnya pada Ibu-Ibu penjual sate.

"Oke, Mas." Respon Ibun penjual sate.

Setelah pesanan jadi, Rafa mengajakku duduk. Kami duduk menghadap sungai yang bisa dibilang cukup besar.

"Emang tadi Bi Minah gak masak?" Tanyaku ketika Rafa mulai menyantap satenya.

"Masak." Jawabnya singkat.

"Terus kenapa beli sate?"

"Lagi pengen aja. Tadi Bi Minah juga cuman aku suruh masak sedikit." Jawabnya enteng.

Aku hanya manggut-manggut menanggapi jawaban dari Rafa.

"Eh, sorry. Gue tadi gak nawarin lo. Lo mau gak sate?" Tanyanya kemudian.

"Gak usah. Lo habisin aja. Gue udah makan." Tolakku. Aku memang sudah makan dan aku juga masih kenyang.

"Beneran gak mau? Enak loh." Godanya. Sepertinya penyakitnya untuk menggoda mulai kambuh.

"Hmm" Responku singkat sambil menatap lampu-lampu kota. Terlihat indah. Bahkan bintang saja kalah banyak dibandingkan lampu-lampu kota. Mungkin karena cuaca yang tidak begitu cerah.

Ketika sedang asyik melamun, tiba-tiba ada sesuatu yang menempel di bibirku. Sesuatu yang rasanya, manis? Apa ini?

Akupun segera menoleh ke arah Rafa. Ternyata dia menyodorkan sate yang ada di tangannya ke arah bibirku. Mungkin berharap agar aku mau memakannya.

"Apaan sih lo? Pakek nyocol-nyocolin sate ke mulut gue?" Cerocosku setelah aku membersihkan mulutku dari sambal kacang yang tadinya menempel.

"Gue gak enak sama lo. Masak iya gue makan sendiri sedangkan lo cuman bengong." Jelasnya, "Nih cepetan dimakan!" Suruhnya sambil menyodorkan satu tusuk sate yang tadi habis digunakan untuk mencocol-cocol bibirku.

Tanpa basa-basi, aku langsung meraih tusuk sate itu. Daripada pipiku nanti jadi korban sambal kacang selanjutnya.

Sambil menghabiskan sate milik Rafa, kami juga menikmati pemandangan kota. Suasana dingin tidak begitu terasa. Kami saling diam memerhatikan sekeliling.

WillingnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang