Part XII

1.1K 69 57
                                    

Pria dengan kaus hitam polos juga jeans dongkernya itu terus berjalan ke kanan dan ke kiri. Ponsel di genggamannya pun tak lepas dari pandangan mata hitamnya.

"Kemana dia?!" Umpat mikha yang kini menghempaskan tubuhnya di ranjang. Ia mengacak frustasi rambutnya kemudian mengusap wajahnya yang sudah kusut.
Lebih kusut dari baju yang belum di setrika.

Sudah hampir sore dan caitlin belum juga muncul di depannya.
Ingin sekali mikha menelfon cait. Tapi kenapa harus dia?!

"Dia pergi dengan mantan kekasihnya." Teriak mada dari luar kamar mikha.
mata hazelnya itu membulat sebesar biji kelengkeng.
Dengan sekali gerak, ia melesat ke luar kamar. Kini dia sudah berdiri di depan mada dan mencengkram kerah kemeja kakaknya itu.

"KENAPA KAU TAK MENCEGAHNYA?!"

"KENAPA KAU TAK MEMBERI TAU KU?!"

"KENAPA MAD?!"

Mata ungu mikha kembali di keluarkannya. Nafasnya menderu dan terdengar sangat mengerikan.
Mada mundur selangkah sambil mengangkat dua tangannya ke udara.

Diantara empat bersaudara itu, yang paling bisa mengerti keadaan hanyalah mada.
Dia tau mikha seperti ini bukan karena marah padanya. Sebisa mungkin mada menahan emosinya.
Dia tak ingin ada perkelahian. Apalagi dengan saudaranya.

"Slow down, dude." mada mengusap bahu adiknya itu.

"Dimana dia sekarang?!" mikha kembali membentak dan cengkramannya makin kuat.

"Sebaiknya kau tunggu saja dia disini. Tak perlu menyusulnya." jawab mada singkat.

"Tahan emosimu. Aku tau kau cemburu tapi kau juga yang membuat semua seperti ini." Tukas mada tenang.
Mikha melonggarkan cengkraman tangannya di kerah mada kemudian memberi tatap seolah bertanya.

"Maksudmu?"

"Dia tau kalau kau hanya menipunya malam itu." Ucap mada tenang penuh kewibawaan.
Mirip dadnya.

Mikha menghela nafas berat.
Dia tau ini akan terjadi.
Angelo itu mengusap lagi rambut hitamnya, kemudian berjalan masuk ke kamarnya.

Berani-beraninya.
Siapa nick itu? Dia pikir dia bisa mengalahkanku? Uh?

Mikha mengumpat keras-keras dalam hatinya. Dia tau ini salahnya. Tapi tidak dengan ini juga balasannya.

Mikha berhenti sejenak dari erangan-erangannya. Ia menyahut ponsel yang tadi di bantingnya ke atas ranjang.
Dengan lihai ia mendial nomor di ponselnya. Seolah sudah hafal di luar kepala nomor itu.

Bukankah mikha memang pintar? uh.

Dia putuskan untuk menghubungi istrinya itu sekarang. Bibirnya sudah gatal untuk memarahi cait. Bisa-bisanya pergi dengan laki-laki lain.

"Halo." Ucap mikha saat seseorang menyahutnya di seberang sana.

"Ada apa?" Cait menjawab dengan nda jengah.

"KAU DIMANA, BODOH?!"

"Di dekatmu."

Mikha mengerutkan alisnya.
"AKU TIDAK SEDANG MAIN-MAIN! KAU DIMANA?!"

"Sudah ku bilang di dekatmu, angelo!"

tiba-tiba sambungan telfon terputus.
Mikha sudah dalam posisi ancang-ancang untuk mengutuk cait lewat ponselnya, namun tiba-tiba pintu kamar terbuka dan munculah sosok yang membuatnya naik darah sejak beberapa menit lalu.

"KAU!!"

"Apa?!" cait menyahut tak kalah keras dari suara mikha.

"Sekarang ku tanya. Dari mana saja kau? Dan bersama siapa?"

FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang