"Saat dunia semakin menghimpitmu, mungkin kau butuh seseorang yang nantinya bisa kau percaya."
***
Dering ponsel di sakunya membuatnya berjengit kaget, langsung saja ia menyambar ponselnya. "Ya, halo Kak Jasmin? Aku masih di sekolah, ada apa?"
"Nanti kalo udah mau pulang kasih tau ya, aku jemput kamu. Soalnya ada perusahaan iklan yang ngasih job buat kamu nih."
"Iya, nanti sebelum pulang aku pasti kabarin Kakak, jam berapa janjian sama pihak sana?"
"Jam empat, makanya nanti kita harus sampe di CManajemen lebih cepat, ada pengarahan dari Pak Maja untuk iklan ini sebelum tanda tangan kontrak."
Ekspresinya masih datar, ia menghela napas sepelan mungkin. Entahlah, rasanya lelah dengan banyaknya job iklan yang menantinya. "Okay. Aku tutup dulu ya telponnya, see you," ujarnya, tanpa niat melanjutkan pembicaraan lagi, ia langsung memutus sambungannya.
Matanya terpejam sesaat, berusaha menjernihkan sekejap otaknya yang terasa penat. Ia butuh sesuatu yang fresh, bukan malah kabar pemberian job iklan seperti barusan. Ada sebersit pemikiran kalau ia ingin mengundurkan diri dari manajemennya itu tapi jelas tidak mungkin, karena hal itu menyangkut jalur hukum, atau mungkin ia akan menunda job lain yang mendatanginya untuk sementara?
Tapi sekali lagi, Rea ingat kalau proses yang ia jalani hingga mendapat banyak tawaran iklan seperti sekarang tentunya enggan untuk melepaskannya begitu saja. Hanya dengan segudang kesibukan yang ia punya, Rea tak perlu lagi memikirkan rasa menyebalkannya berada di rumah.
Ia menggeleng pelan. Tidak mau lagi memikirkan hal lain dulu. Mungkin ia butuh sedikit hiburan ringan dengan musik, dengan bermain gitar. Dimana ia bisa mendapatkan gitar? Sedangkan teman pun belum ada yang ia kenal selain satu-satunya cowok sok cool yang duduk di depannya--Davian. Tapi itu jelas tidak mungkin untuk sekedar menanyakan dimana bisa bermain gitar di sekolah ini dengan Davian. Lebih baik berbicara pada batu sekalian.
Sambil terus melangkahkan kaki jenjangnya, Rea berhenti pada sebuah pintu berwarna biru muda bercorak tangga nada. Penasaran, ia mencoba membuka pintu itu dan ternyata tidak terkunci.
Nuansa biru yang mendominasi ruang musik itu langsung menyambutnya, rasa nyaman langsung menyelinap di benaknya. Rea melangkahkan kakinya perlahan. Manik matanya meluaskan pandangannya, memastikan tidak ada orang di dalam selain dirinya.
Pandangannya berbinar ketika melihat ke sudut kanan ruangan, ada gitar akustik berwarna merah bata yang masih sangat mulus, sepertinya jarang ada orang yang menyentuh gitar itu, masih tersimpan rapi di dalam rak kaca yang terisi penuh oleh alat musik lainnya.
Tangannya mengeser kaca dengan hati-hati, ia tersenyum sumringah saat ingin mengeluarkan gitar itu dari rak kaca. Namun gerakannya terhenti ketika Rea mendengar suara langkah kaki yang mendekat serta dehaman.
Tubuhnya sedikit menegang, ia sedikit kaku dengan keadaan sekarang, seharusnya Rea paham kalau tangannya tidak boleh sembarangan seperti tadi, masuk ke ruangan asing dan memasukinya tanpa permisi.
Dengan gerakan perlahan, Rea menengok ke belakang, dimana suara dehaman tadi menginterupsinya.
"Sorry, sumpah gue nggak maksud buat masuk sembarangan tanpa permisi, tanpa Assalamualaikum, tanpa salam." Rea meracau tanpa berani membuka matanya
Tak ada suara, Rea mengigit bibirnya, membuka sebelah matanya untuk mengintip. Dan benar saja, tubuhnya menengang begitu melihat sosok wanita berbaju hitam berperawakan tinggi besar yang sudah duduk di salah satu tempat duduk di sudut ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satintail
ParanormalBisakah aku memohon padamu untuk tidak bertindak selayaknya angin? Jangan seperti angin yang mudah datang dan mudah pergi Karena aku takut seperti ilalang yang hanya bisa melambai saat angin memilih pergi Ilalang yang pasrah menatap kepergian angin...