7: Langit Berawan

2.4K 289 40
                                    

Warning: banyak narasi, alurnya maju-mundur.

==============================

Dengan langkah berat, Rea menaiki tangga menuju kamarnya, ia langsung menenggelamkan tubuhnya ke tempat tidur begitu sampai di kamar.

Ia tak mau menangis lagi. Cukup sudah menangisi Zenan yang entah keberapa kalinya bersikap kasar padanya. Sepanjang jalan, ia terus berharap Zenan mau menariknya kembali dan pulang bersama. Tapi Rea tahu itu tidak mungkin, Zenan terlalu angkuh akan kebenciannya.

Dengan sangat menyedihkan, Rea berjalan kaki serta tubuh yang tertutup jaket parkanya rapat sambil menundukkan kepalanya, takut dengan tatapan banyak pasang mata yang mengenali dirinya sepanjang jalan hingga sampai di rumahnya dua jam kemudian.

Rea mendesah kasar. Tubuhnya terasa pegal terutama kakinya, ngilu sekaligus lecet pada bagian tumit yang tergesek sepatunya.

Dipandangi langit-langit kamar yang selama beberapa waktu ini selalu menjadi penghantar tidurnya. Setiap ia melihat ke atas ... detik itu juga ia merindukan sosok Zenan. Sosok yang selama ini ada, namun terasa jauh walaupun berada di dalam rumah yang sama.

Rea ingat, di atas sana adalah hasil dari imajinasi Zenan. Lengkungan tiap gambarnya terasa menyejukkan untuk dipandang.

Lukisan awan yang terlihat seperti nyata itu selalu berhasil menghipnotisnya untuk kembali ke masa dimana Zenan selalu menyimpan kejutan yang menyenangkan.

Peluh menetes di sekujur tubuhnya perlahan, keringat dingin mulai menghampirinya. Entah mengapa tubuhnya selalu gugup apabila otaknya memerintah untuk mengenang masa lalu. Ia selalu mencoba membunuh masa itu, masa dimana Zenan masih menjadi kakak seutuhnya. Tapi bagaimana bisa ia menghancurkannya kalau Zenan ternyata meninggalkan jejak keberadaannya pada kamar adiknya itu?

Jejak yang selalu dilihatnya setiap kali memejamkan mata, atau hanya sekedar mengadahkan kepalanya untuk berpikir?

Lagi-lagi yang dilihat jejak itu. Lukisan tangan Zenan yang sama persis seperti di langit-langit kafe Zenan.

Jantungnya terus berdegub kencang. Kepalanya terasa pusing hingga sudut matanya terasa mulai berair.

Tuhan ... apa harus sesulit ini mengingat seseorang yang pernah menyayangi adiknya sepenuh hatinya? Atau mungkin di sini, hanya Rea yang menyayanginya?

.
.

Oktober, 2004.

"Re, nanti pulang dari study tour jam berapa?" tanya Zenan, hendak merapikan sepatunya yang belum terikat.

Adik kecil cantik berseragam putih merah di sampingnya masih belum menyadari pertanyaan kakaknya.

"Reee?" Zenan memanggilnya sekali lagi.

Rea hanya menengok sekilas ke arah kakaknya yang sudah mengenakan seragam putih biru dan sepatunya yang terikat rapi.

Masih tampak tak peduli, ia melirik sekilas jam tangan Powerpuff Girl di tangan kirinya. "Hem ... di kertas edaran sih jam empat udah harus sampe rumah." Sandwich di tangannya sudah habis, ia merapikan roknya yang terkena serpihan halus dari roti.

Zenan mengangguk mantap, ia memasang cengiran bodoh dibalik otak cemerlangnya itu. "Asik deh pulang sore, jangan lupa oleh-oleh ya! Kakak mau pulpen-pulpen yang dijual abang-abang pinggir museum," pintanya, sambil mengikat dasi pada kerah kemejanya.

Rea mengerjap, sedikit berpikir karena permintaan kakaknya itu tidak penting menurutnya. "Okelah." Akhirnya hanya itu yang meluncur dari bibir mungilnya.

SatintailTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang