"Butuh berapa banyak tameng untuk melindungi diri dan bertahan dari serangan masa lalu?"
=====================================================
Kejadian beberapa waktu lalu terulang lagi. Davian menarik gas motornya dengan kecepatan seperti orang kesetanan. Ia kalut, yang ada di otaknya saat ini hanya reka adegan yang terus berputar layaknya film kusut.
Suara Rea yang menyanyikan lagu One Last Cry terus bergema di dalam benaknya. Kakaknya, papa, mama, semua seolah berputar bergantian menampilkan adegan yang membuat jantung Davian nyeri hingga ulu hatinya. Tangannya berkeringat dingin sejak tadi. Rasanya Davian ingin berteriak agar bayang-bayang itu pudar dari pikirannya.
Tapi kenyataannya ... percuma.
Mereka seolah bekerja sama untuk menghancurkan Davian perlahan, hingga tanpa sadar bulir bening itu muncul di pelupuk matanya yang memerah sejak tadi.
Davian dengan motor besarnya membelah langit yang mulai menggelap. Entah sudah berapa lama ia berjalan tanpa tujuan.
Ia tak peduli! Ia hanya ingin segala penat di pikiran dan hatinya luntur.
Sungguh, Davian hanya ingin melupakan kejadian hari ini, biar saja angin yang membawa bayang-bayang bodoh itu pergi, sampai ia lupa dengan sendirinya.
***
Davian membuka helm beserta masker yang menutupi wajahnya. Ia melirik jam tangannya sekilas. Sepuluh malam tepat. Ia bahkan lupa kemana saja motornya ikut serta membawanya pergi.
Dilihatnya lampu dari dapur masih menyala.
Ia memundurkan langkahnya ketika hendak menaiki undakan tangga. Ada kakaknya yang masih duduk di meja bar, membelakangi Davian.
Perlahan, Davian menghampiri Anjani setelah menaruh helmnya di atas kursi dengan asal.
"Kak?" sapanya, tangannya terulur menyentuh pundak Anjani, membuat Anjani tersentak dari lamunannya.
Davian menghela napas berat, ia tahu kakaknya sedang memikirkan hal yang membuat Davian sangat muak jika mengingatnya.
Tolonglah, Anjani ... kompromi sedikit!
Pikiran Davian hari ini sudah cukup berat, tapi kenapa Anjani sepertinya masih ingin menambah beban itu padanya?
"Tidur, Jan! Berhenti mikirin yang udah lewat!" serunya, dalam hati ia merutuki dirinya sendiri yang sok bijak, seolah tak berkaca pada dirinya sendiri.
Anjani masih tak menggubris ajakannya.
Davian jengah, refleks mengembuskan napas serta mengacak rambutnya kasar. "Terserah elo deh, Jan! Lo udah gede, tau mana yang baik dan buruk buat diri lo sendiri. Sumpah, gue capek, mau tidur!"
Mendengar Davian yang membentaknya, langsung saja Anjani mendongakkan kepalanya menatap Davian yang terlihat berantakan. Mata adiknya itu terlihat sembab dengan warna kemerahan pada bola matanya. Degub jantung Anjani berlari cepat melihat Davian yang kacau, ia bahkan sangsi kalau di hadapannya adalah adiknya yang selalu bersikap tenang.
Sambil terus memerhatikan punggung Davian yang mulai menjauhinya, Anjani menundukkan kepalanya, merintih dengan bulir air mata yang perlahan menetes ke baju tidur yang ia kenakan.
Perih. Hatinya terasa perih melihat Davian yang ikut jadi korban seorang pesakitan seperti dirinya.
***
Peluh membasahi sekujur tubuh Davian. Ia gelisah, bergerak-gerak dalam tidurnya mencari posisi nyaman. Tapi ia tak menemukannya. Semua terasa memusingkan. Bayang-bayang itu berjalan beriringan. Menghampiri Davian dan berputar perlahan seiringan dengan detak jam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satintail
ParanormalBisakah aku memohon padamu untuk tidak bertindak selayaknya angin? Jangan seperti angin yang mudah datang dan mudah pergi Karena aku takut seperti ilalang yang hanya bisa melambai saat angin memilih pergi Ilalang yang pasrah menatap kepergian angin...