Aku sangat mengenalmu, dulu kau tak begitu. Kau bintang di hatiku, jadilah yang kumau. Kusenang, kusedih, kau tak mau tahu.
Agnes Monica - Cinta di Ujung Jalan
***
Readinata masih asik dengan Ipod yang berada di genggaman tangannya. Kini bus sekolah sudah berhenti di depan perumahan dimana ia tinggal.
"Readinata Nilandiputri, ada orangnya? Kita sampai." Pak sopir yang semula duduk di tempat kemudinya, kini berdiri dan mencari keberadaan tempat duduk Rea.
Rea pun terkesiap, dengan cepat dirinya memasukkan Ipod dan teman-temannya ke dalam tas. Lalu memasang cengiran lebar dengan tergesa-gesa, bangun dari tempat duduknya. Ia sudah terlanjur asik dengan dunianya sendiri selama perjalanan kurang lebih 45 menit.
Saat dirinya melihat seisi bus, hanya ada lima orang murid yang belum diantar sampai tujuannya dan ... oh, ternyata ada tiga makhluk lain di sini. Mereka penumpang tetap yang tak kasat mata duduk di sembarang tempat. Hanya Rea yang menyadari keberadaan mereka. Dirinya tersenyum pada murid yang masih tersisa, terutama pada Pak sopir dan pada 'mereka'.
Sambil terus melangkahkan kaki, ia merasa tubuhnya yang mulai letih. Bagaimana tidak? Hampir setiap hari dirinya berangkat pagi pulang menjelang sore, masih belum ditambah jadwal shooting iklan dadakan dan mengharuskannya izin pada pihak sekolah.
"Nggak! Nggak boleh ngeluh!" Rea membatin menyemangati dirinya sendiri.
Langkah kakinya terhenti, ia menatap mobil Pajero Sport hitam sudah terpampang di depan rumahnya dengan pintu pagar yang terbuka lebar.
Tanpa sadar, senyum simpul menghias bibirnya, terasa melupakan sejenak keletihannya hari ini. Dengan sigap ia melangkah masuk dengan mata berbinar, senyumnya pun semakin mengembang. Ada kakaknya yang tengah sibuk mencari sesuatu, berdiri di depan rak buku. Entah menyadari kedatangan Rea atau tidak.
"Zenan, lo udah pulang? Tumben," tegurnya basa-basi, masih memasang cengiran khasnya, yang sejak tadi mengembang. Sangat jarang dirinya bertemu dengan Zenan di jam segini karena kakaknya yang terlalu sibuk−atau mungkin menyibukkan diri.
Zenan menengok ke sumber suara, ada adiknya yang sedang melepas kaus kaki dan meletakkan tasnya ke sembarang tempat. Zenan tersenyum miring melihat adiknya yang menenggelamkan tubuhnya di sofa, lalu mengalihkan lagi perhatiannya tanpa minat membalas sapaan adiknya.
"Lo udah makan?" tanyanya, memulai percakapan dan berusaha menghilangkan aura ruangan yang perlahan dirasakan tubuh mungilnya mulai menguar negatif.
Zenan masih terlihat menyibukkan diri dengan mencari buku yang tersusun rapi di dalam rak. Tak ada jawaban.
"Gue lapar nih, Zen. Lo laper gak? Gue mau delivery aja, mau gak?"
Lagi, Zenan tidak menjawab, atau lebih tepatnya pura-pura menulikan telinganya.
"Zen? Jawab sih ... jangan diem aja," protes Rea pada kakaknya.
Sebisa mungkin dirinya menahan tangis yang sebentar lagi akan keluar dari matanya. Peluh membasahi tubuhnya. Dingin. Ia merasa kakaknya semakin dingin dan tak tersentuh. Entah untuk keberapa kalinya, setiap ia mencoba berbincang dengan Zenan, tenggorokannya tercekat ketika ia menelan paksa salivanya. Tak ada timbal baliknya.
"Jadi, masih betah gak nanggepin omongan gue daritadi?" tanyanya hanya bisa membatin. Ingin rasanya memaki kakaknya itu tepat di depan wajahnya agar tidak terus menerus menganggap Rea seolah tidak ada.
Zenan masih tidak mengacuhkan Rea, tidak ada se-senti pun ia melirik adiknya. Apalagi membalas ucapan Rea barusan.
Rea memandangi punggung yang selalu ia rindukan. Entah kemana perginya punggung itu, bahu kokoh yang selalu siap untuk dipinjam ketika Rea merasa dunia tak lagi memihaknya, dan ... kemana perginya genggaman tangan hangat yang beberapa waktu lalu masih menemaninya?
Dengan ekspresi wajah sedingin es, Zenan meletakkan kasar uang ke atas meja makan, kemudian berlalu dan berhenti sejenak tepat di samping Rea. Entah apa yang ada di pikiran Zenan saat melakukan hal itu. Mata Rea membulat menyadari perilaku kasar Zenan.
"Tuh uangnya, kalo lo mau delivery, gue mau pergi dulu," ujarnya dingin, tanpa minat untuk melihat manik mata adiknya yang mulai berkaca, menahan tangis.
"Gu--gue ...," ucapan Rea terputus. Dirinya merasa tak mampu membalas ucapan kakaknya barusan.
Saat Rea memutar tubuhnya, punggung itu sudah pergi, tanpa minat melihat ke belakangnya lagi.
"Gue ... gak butuh uang lo itu!" teriaknya saat deru motor milik Zenan menghilang, melempar uang yang baru saja ditinggalkan kakaknya di meja makan, membuat lembar kertas itu berjatuhan.
Isak tangis yang sejak tadi tertahan kini lolos dari bibir mungilnya. Suaranya parau, detak jantungnya bertalu tak beraturan mengingat kebekuan Zenan tadi, napasnya semakin tercekat saat mengingat tatapan tajam dan dingin yang diperlihatkan Zenan padanya.
Rea tertunduk lemas. Tak tahu apa yang harus dilakukannya setelah ini. Bahkan perutnya yang semula lapar, seketika menghilang. Seperti hilangnya sosok lembut Zenan sebagai seorang kakak.
"Zen, gue kangen lo." Batinnya, dia sangat merindukan sikap hangat kakaknya.
Bukan seperti sekarang, melemparkan uang dengan kasar, seolah Rea adalah makhluk paling rendah di hadapan Zenan.
Dimana sosok kakaknya itu? Dimana seorang Ferro Zenanta yang menyayanginya? Ada banyak pertanyaan di benak Rea saat ini. Yang ia tahu, kakaknya berbeda. Tidak lagi seperti Zenan yang ia kenal. Bukan lagi, sejak beberapa waktu lalu yang sudah berhasil merubahnya.
Seharusnya, Zenan bisa jadi sosok penguat dalam hidupnya setelah mamanya meninggal, seharusnya Zenan bisa jadi kakak yang sempurna, seharusnya juga ... Zenan adalah alasan Rea ingin cepat pulang ke rumah dan bertukar cerita selain pada Ayahnya yang sibuk bekerja.
Tapi apa yang ia dapat sekarang?! Bahkan Zenan sudah tak dikenalnya lagi.
==========================================
02 Januari 2016
19 Agt 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Satintail
ParanormaleBisakah aku memohon padamu untuk tidak bertindak selayaknya angin? Jangan seperti angin yang mudah datang dan mudah pergi Karena aku takut seperti ilalang yang hanya bisa melambai saat angin memilih pergi Ilalang yang pasrah menatap kepergian angin...