Berapa banyak lagi sudut tak kasat mata yang kamu sembunyikan? Berapa lama lagi aku harus menahan sebuah rasa penasaran?
***
Readinata berjalan sekitar gerbang Prima Nusantara sambil menutup payungnya, ternyata langit masih meninggalkan tetesan hujan di atas jaket parkanya.
Matanya kali ini sedikit memerah, bayang-bayang yang membuat tenggorokannya terasa tercekat hingga sekarang.
Ia mengeratkan jaket parkanya yang membungkus dirinya hangat. Seolah hanya jaket itu yang mampu membuatnya menghangatkan dirinya sendiri, bukan yang lain.
Sebelum ia berangkat, ia meminta tolong Zenan untuk mengantarnya ke sekolah karena di rumahnya sudah turun hujan cukup lebat.
"Zen, ayodong anterin, ujan nih. Sampe lampu merah prapatan PrimNus aja," rengeknya, memohon pada Zenan yang masih tidur dengan selimut yang menyelimuti kakiknya sebatas pinggang dan wajahnya tertutupi bantal.
"Hmm."
"Please, telat nih gue."
"Berisik lo tai!" hardik Zenan, membuat Rea berjengit kaget, refleks mundur selangkah menjauhi tempat tidur Zenan.
Zenan menyibakkan selimutnya, melempar asal bantal yang tadi menutupi wajahnya. "Lo juga biasanya berangkat sendiri. Gue ngantuk elah."
Rea mengusap dadanya, terkejut mendengat nada bicara Zenan yang terlewat ketus. Ini bukan pertama kalinya, tapi Rea selalu merasa ketakutan mendengarnya. "Di luar ujan, Zen," lirihnya. Ia menundukkan kepalanya, enggan membalas tatapan Zenan yang tajam menyayat.
Zenan bangkit dari tidurnya, ia menarik asal celana panjang yang tergantung di belakang pintu. "Nih, ongkos lo buat naik taksi!" Zenan melempar asal uang lima puluh ribu pada Rea.
Rea mengerutkan keningnya. "Gak perlu. Ayah udah ngasih gue ongkos," balasnya dingin.
Zenan berjalan mendekat padanya sambil mengepalkan tangan kanannya. "Mau lo apa sih? Brengsek!"
"Mau gue?" tantang Rea, ia tidak menggubris tatapan tajam serta kepalan tangan Zenan yang siap menghantamnya. "Gue mau lo anterin, Zen! Di luar ujan, nyaris badai. Gue pengen naik mobil sama lo! Gue pengen kayak temen-temen gue dianterin sama kakaknya kalo lagi ujan kayak gini."
"Sinetron lo, sampah!" Zenan memukul keras dinding di sampingnya. Tangannya memerah karena kepalannya sendiri.
Sesak. Seakan ruangan di sekitarnya semakin menghimpit mereka. Bahkan oksigen pun tak dirasakan Rea. Tidak menyangka lagi-lagi kata kasar yang keluar dari bibir kakaknya itu.
"Gue baru tidur, njing! Lo gak tau 'kan gue begadang buat bikin desain bangun ruang sialan itu? Lo manja! Lo cewek manja! Sampe kapan pun lo tetep aja manja! Gak guna!" hardiknya, ia menunjuk-nunjuk tajam, tepat di depan wajahnya Rea.
Ia masih menunduk, enggan menatap wajah kakaknya yang penuh amarah itu. "Gu ... gue gatau kalo lo begadang, Zen."
"Basi lo, sana berangkat. Ganggu aja lo!"
Lagi. Mendengar ucapan Zenan yang terang-terangan mengusirnya, membuatnya enggan menoleh lagi apalagi sampai memohon seperti tadi. Ia menutup pintu kamar Zenan hingga berdebum.
Rea berjalan gontai, matanya mulai berkabut. Tidak, ia tidak boleh menangis. Sudah terlalu sering Zenan memperlakukannya seperti tadi. Bukan, dia bukanlah cewek manja seperti kata kakaknya. Dia bisa berangkat sekolah sendiri tanpa bantuan Zennan. Tidak perlu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satintail
ÜbernatürlichesBisakah aku memohon padamu untuk tidak bertindak selayaknya angin? Jangan seperti angin yang mudah datang dan mudah pergi Karena aku takut seperti ilalang yang hanya bisa melambai saat angin memilih pergi Ilalang yang pasrah menatap kepergian angin...