8: Dua Puluh Dua untuk Empat Belas

2.3K 290 41
                                    

Jasmin Faradina:
Re, aku udah batalin pertemuan hari ini ke pihak PH FTV, tapi mereka nagih janji besok harus ketemu kamu. By the way, titip doaku untuk Bundamu, ya!

Rea tersenyum tipis saat menatap ponselnya dan sederet kalimat dari Jasmin. Wanita itu memang selalu bisa diandalkan. Rasanya tak akan ada orang lain yang bisa menggantikan posisi Jasmin untuk mengurusi jadwalnya. Entah muslihat apalagi yang digunakan wanita itu untuk memberikan alasan yang logis agar pihak production house bisa tetap bersabar padanya.

Readinata Nilandiputri:
Makasih ya Kak. Aku janji besok nemuin mereka sepulang sekolah. Titipan doamu udah di tanganku heheh.

Rea langsung menutup ponselnya saat bel tanda pulang berbunyi nyaring. Langsung saja ia bergegas merapikan barang-barangnya dengan tergesa yang tergeletak di atas meja.

"Dav, balik duluan ya!" sapanya pada Davian yang masih berkutat dengan buku latihan Kimianya.

Davian menaikkan kacamatanya yang hampir merosot, lalu tersenyum samar membalas sapaan Rea. "Hati-hati, Re." Ia kembali menarikan pulpen hitam di atas bukunya dengan raut muka kembali serius.

Oh astaga! Padahal hanya sebuah sahutan singkat, ternyata mampu membuat jantung Rea kebat-kebit detik itu juga.

Senyum tipis masih tersungging di bibir merah mudanya. Paling tidak ia sudah paham sifat cowok itu yang memang sangat sulit ditebak. Sedikit bersyukur, karena saat ini cowok itu sepertinya memiliki mood yang baik hingga mau membalas sapaannya.

***

Masih mengenakan seragam Prima Nusantara, Rea turun dari taksi setelah membayar argo yang lumayan menguras dompetnya. Kemacetan Jakarta menjadi penyebab utama harga taksi yang ia tumpanginya melejit.

Melirik sekilas pada jam tangan yang membelit tangan kanannya--setengah lima sore. Ia mengadahkan kepalanya sambil menyipitkan matanya saat melihat awan yang bergerak perlahan.

Cepat-cepat ia berjalan menuju sebuah toko bunga yang telah menjadi langganannya. Bahkan penjaga toko itu sudah sangat hafal dengan kedatangan Rea di tanggal yang sama.

Terdengar bunyi lonceng dari atas pintu kaca yang terbuka. Sang penjaga toko langsung menolehkan pandangannya dari bunga yang sedang ia rangkai, menuju pintu masuk. Senyum ramah langsung terpatri di wajahnya yang sudah mulai menua.

"Mbak, Rea?" tanya bapak paruh baya itu sekedar memastikan, masih lengkap dengan topi sulam jerami dan sebuah tang di tangan kirinya.

Rea tersenyum tipis. "Oh, bapak sediri yang jaga?" tanyanya retoris, sambil melangkah mendekat pada bapak penjaga toko bunga itu. "Untung tokonya belum tutup."

Pak Yatmo melepas topi sulamnya dan menaruh asal topi beserta tang yang sejak tadi ia genggam. "Mau ziarah ya, Mbak?"

Rea mengangguk antusias. "Iya, Pak. Tadi Ayah saya udah kemari belum?"

Pak Yatmo tampak mengingat, tak lama ia menggelengkan kepalanya. "Belum, Mbak. Mau nungguin bapaknya di sini dulu atau mau langsung saya ambilkan bunganya?" tanyanya memastikan.

"Boleh deh, Pak. Ditaroh di plastik aja gak usah dibikin buket, aku minta tambahin bunga lily seperti biasa ya, Pak ... sama air mawarnya sebotol," pintanya. Pak Yatmo mengangguk paham lalu bergegas masuk ke dalam mengambilkan pesanan bunga yang diminta Rea.

Di sela-sela pandangannya yang sibuk bergerilya memerhatikan bunga di toko itu, ponselnya berdering. Tanpa melihat ke layar, ia langsung mendekatkan ponsel ke telinganya.

"Buku lo ketinggalan nih," ucap orang itu dari kejauhan dengan nada datar dan justru terkesan songong itu sudah Rea hafal betul. Bahkan cowok itu tidak mengucapkan basa-basi sedikit pun.

SatintailTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang