24: Pulang

911 141 7
                                    

09 Oktober 2017

Aku masih menunggu reaksi kalian di kolom komentar yaa. Satu part lagi tamat.


==========================

Hujan mengguyur Jakarta sejak pagi, embun tipis menutupi kaca di samping Rea hingga ia tidak dapat melihat rintikan hujan di luar. Tangannya mengusap kaca agar ia bisa menatap guyuran hujan yang semakin kencang dan langit yang menggelap

Ia merindukan ini--merindukan semua suasana di Jakarta, terutama Bluesky.

Tersenyum simpul ketika pandangan Rea beralih. Ada Zenan dan Jasmin yang bersandar di bahu kakaknya itu. Mereka sangat serasi, Jasmin bahkan tidak terlihat lebih tua tiga tahun, karena memang wajah Zenan yang memiliki jambang tipis itu menutupi umur sebenarnya dan menjadikannya justru tampak lebih tua dibanding Jasmin.

"Jadi beneran nih, kamu bakal terus di Jakarta?"

Rea mengangguk, menanggapi pertanyaan dari Jasmin. "Tiga tahun di negara orang, cukup deh kayaknya."

Jasmin terkekeh sambil mengambil tisu dan memaksa Zenan menoleh padanya lalu mengelap bekas mayones di ujung bibir Zenan. "Makan gini aja cemong, sengaja ya biar aku elap kayak gini?!"

Zenan hanya memiringkan senyumnya tanpa menjawab apapun. Rea mendecih, kakaknya itu jadi sangat manja terhadap Jasmin--dan Rea baru tahu ketika melihatnya langsung. Jasmin dan Zenan sudah menjalin hubungan selama setahun terakhir.

"Gue balik lagi ke CM, Pak Maja mau terima gue nggak ya, Kak?"

Jasmin menoleh, menghentikan pergerakannya yang seinci lagi memakan kentang goreng, lalu menaruhnya lagi karena merasa terinterupsi oleh Rea.

"Kamu bahkan belum memutus silaturahmi atau apapun ke CManagement. Why not?" sahut Jasmin acuh, mengedikkan bahu dan lanjut memakan kentang gorengnya.

Setelah mendengar sahutan Jasmin, mata Rea langsung berbinar, senyum simpul ikut menghiasi wajahnya yang semakin terlihat tirus.

"Gue kangen sama kegiatan yang dulu, gue kangen diomelin lo, Pak Maja, sutradara, sampe dapet produk gratis."

Kali ini Zenan mendelik, memiringkan sebelah bibirnya tanpa minat. "Enak ya jadi lo, semoga Bunda nggak kesel liat kelakuan lo yang bolak-balik seenaknya."

Rea terkekeh mendengar nada sarkas kakaknya itu. "Judes lo nggak pernah ilang deh, sebel," sahutnya santai.

Sekarang Rea sudah bisa mengimbangi segala ucapan Zenan tanpa rasa tersentil apalagi sakit hati. Memang mulut pedas Zenan akan selalu menghiasi bibir tipis merah alami itu.

Tiba-tiba Rea teringat sesuatu. Tangannya yang usil mencomot sepotong kentang dan memakannya. "Mau tanya sesuatu deh sama lo."

Zenan dan Jasmin saling bertatapan, menoleh bersamaan pada Rea. Zenan menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa?"

"Soal Davian."

Mendadak kecanggungan menghampiri Zenan, ia sedikit mengubah posisi duduknya dan berdehan singkat. "Kenapa dia?"

"Udah nggak pernah main di sini lagi?" tanya Rea penasaran, matanya seolah memancarkan ketertarikan dengan pertanyaannya sendiri.

Zenan melihat kilat mata itu, ia tahu dengan kilatan terdalam adiknya. Ada kerinduan tak kasat mata yang sekarang menjamur menjadi rasa yang mungkin saja tidak bisa dijabarkan.

Akhirnya, Zenan menggeleng sebagai jawaban. Memang benar, semenjak Rea memutuskan untuk pergi ke London, Davian seolah ikutan pergi dari hidupnya. Bahkan Zenan juga merasa kehilangan anak itu--walaupun tak sedalam rasa kehilangan adiknya.

SatintailTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang