Mata sebagian murid SMA Prima Nusantara yang masih berada di koridor kelas menatapnya heran, seorang siswi yang baru pertama kali terlihat di sekolah tersebut.
Tapi, tunggu ... siapa yang tak mengenalnya?
Dia salah satu artis muda berbakat yang sudah melebarkan sayapnya untuk mengisi banyak iklan dan beberapa acara di layar televisi.
Dengan style yang sedikit berbeda dari siswi lainnya−tentu saja. Sepatu Converse High hitam, rok sekolah kurang lebih sepuluh senti di atas lutut, kemeja sekolah tanpa nametag maupun badge, blazer hitam pelengkap seragam sekolah yang tidak melekat di tubuhnya. Tidak seperti murid lain, sudah menggunakan seragam sekolahnya dengan rapi. Gelang-gelang menutupi tiga per-empat tangannya. Oh astaga! Rambut lembut itu ... siapa yang tidak mengagumi rambut panjang terurai itu? Ada banyak tangan handal yang siap menata rambut sutera itu. Untuk saat ini ia hanya perlu menjepit poni rambutnya agar tidak terurai berantakan. Ia menggunakan tas Volcom dengan motif abstrak berwarna dominan biru muda dan hijau tosca.
Ada yang berdecak kagum, ada yang keheranan, ada pula yang menatapnya sinis.
Tanpa perlu menengok, Readinata sudah bisa merasakan apa yang sedang terjadi di sekitarnya, terutama ekspresi orang-orang saat melihatnya menyusuri koridor tersebut. Bermacam-macam aura perlahan muncul dari masing-masing mata yang melihat ke arahnya. Tubuhnya bergidik ngeri.
"Ngeliatinnya biasa aja kalik. Duh, itu ... kenapa juga harus warna itu yang melekat di tubuh mereka?!" gerutunya, namun tetap berjalan dan memerhatikan setiap tulisan yang menggantung di samping pintu yang ia temui.
Sambil terus berjalan tegap, menganggap seolah dirinya tak melihat apapun di sekitarnya, warna orang-orang yang memerhatikannya terlihat berwarna-warni, membuat kepalanya sedikit pusing.
Kelas 11 IPA 2
Tulisan itu menyambutnya dari samping atas pintu yang menggantung.
Tanpa disadari tubuhnya sedikit limbung akibat tertabrak oleh bayangan hitam yang cukup tinggi dengan bentuk yang tidak beraturan melewatinya begitu saja, tentu dirinya terkejut bukan main! Jantungnya bekerja lebih kencang saat bayangan itu menabraknya, napasnya sedikit tersengal saking terkejutnya. Baru sampai, sudah mendapatkan ucapan selamat datang dari salah satu penghuni sekolah ini.
Ia mengerjapkan matanya berkali-kali, pandangannya buyar. Dirinya berpegangan erat pada daun pintu di hadapannya.
Sambil menghela napas, Rea mengetuk pintu itu perlahan. Tidak ada reaksi apapun dari dalam kelas. Ia pun mengulanginya, kali ini dengan ketukan yang sedikit lebih kencang. Was-was, sepertinya di antara kelas lain, kelas di hadapannya lah yang lebih dulu kedatangan guru dibanding kelas lain yang masih berkeliaran.
Tak lama dari dalam kelas, seorang guru wanita membukakan pintu untuk Rea. Memasang senyum termanisnya, yang membuat Rea justru menyunggingkan senyum miring samar melihat guru itu--karena senyumnya terlihat tidak tulus, hanya formalitas. Dan ia tak terlalu suka sesuatu yang berbasa-basi seperti ini.
"Maaf, Bu, saya terlambat. Saya murid baru di sekolah ini, saya hampir lupa dengan jadwal masuk di kelas ini. Apakah saya masih diijinkan masuk?" tanya Rea, sehati-hati mungkin dengan senyum yang tersungging di bibirnya. Karena akhirnya dia juga harus berbasa-basi layaknya murid baru.
Guru itu tampak berpikir. "Seharusnya kamu nggak diijinkan masuk dalam pelajaran saya, karena kamu sudah terlambat--," ucapan Guru itu terputus, sambil melihat jam di tangan kirinya.
"Sepuluh menit. Saya baru telat sepuluh menit kok, Bu. Maaf, sekali lagi," ucap Rea memohon, sambil mengepal kedua tangannya di depan dagu.
"Untuk hari ini, kamu masih dapat dispensasi dari saya. Tapi untuk hari berikutnya, nggak akan ada dispensasi dari saya lagi, saya nggak peduli kamu ini artis atau bukan, nggak ada pilih kasih di sekolah ini," ucapnya ketus, menatap penampilan Rea dari ujung rambut hingga ujung sepatu Converse yang ia kenakan. Guru itu berdecak sambil menggeleng karena penampilan Rea yang tidak rapi menurutnya, ditambah lagi sepatu yang Rea gunakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satintail
ParanormalBisakah aku memohon padamu untuk tidak bertindak selayaknya angin? Jangan seperti angin yang mudah datang dan mudah pergi Karena aku takut seperti ilalang yang hanya bisa melambai saat angin memilih pergi Ilalang yang pasrah menatap kepergian angin...