"Zenan kemana, Re?" tanya Sanjoyo--ayahnya, dengan nada setenang mungkin sambil mengiris roti panggangnya dengan pisau.
Diam sejenak, Rea memikirkan kalimat apa yang pantas untuk ia keluarkan. "Gak tau, Yah. Kayaknya sih udah berangkat." bohongnya, ia meringis dalam hati karena kenyataannya Zenan belum pulang sejak tiga hari yang lalu.
Ayahnya berdecak, kelakuan puteranya itu masih belum berubah. "Pulang jam berapa dia semalam? Ayah pulang, dia belum pulang sampai ayah mau tidur."
Rea bergeming. Bingung mau membalas ucapan ayahnya seperti apa.
"Itu anak nggak pernah di rumah. Heran," cibirnya. Ia menyesap singkat kopi panas buatan Rea.
"Mungkin dia lagi sibuk, Yah. Kemarin nge-chat Rea katanya banyak tugas, sibuk bikin desain project. Lagian juga lagi musimnya UAS," ujarnya, sok tahu. Ia hanya berusaha membela kakaknya itu. Walaupun ia tahu persis, Zenan tidak akan sudi apalagi berterima kasih padanya. Jadi pembelaan Rea kali ini terasa sama saja, percuma.
Tapi, alibi apalagi yang akan dikeluarkan Rea untuk membela kakaknya itu, ayahnya selalu tahu kalau itu hanya tepisan dari Rea saja. Sanjoyo Hardija juga pernah kuliah seperti Zenan, ia juga tahu seperti apa sibuknya anak kuliahan. Tapi ia tidak bodoh, ia tahu persis kalau Zenan menghindarinya, atau mungkin menghindari puterinya kalau sampai tidak pulang ke rumah seperti ini.
Sanjoyo mendesah lelah dalam hati, berharap suatu saat Zenan bisa berubah, tidak semaunya sendiri seperti saat ini. Satu sisinya ingin menyalahi dirinya sendiri, tidak berhasil mendidik Zenan setelah isterinya meninggalkan mereka.
Kembali lagi, apa yang bisa dilakukan seorang ayah pada anaknya apabila ucapan dan gertakan pun tidak digubris puteranya selama ini? Mungkin hanya doa yang bisa membantunya.
***
Sejak tiga puluh menit yang lalu, Readinata sudah duduk manis sambil sesekali menyesap Frapuccino pesanan andalannya. Sepulang sekolah, ia diminta Jasmin untuk ketemuan di kafe Bluesky milik Zenan. Awalnya Rea sempat ragu, karena kakaknya pasti berada di Bluesky dan apabila mereka bertemu macan liar itu--Zenan, akan memarahinya dengan alasan apapun. Zenan tak pernah suka Rea berada di kafenya.
Tapi Rea tak peduli, ia sering berada di sini. Kalau lagi sial, ia akan diseret keluar oleh Zenan disertai makian, dan itu tidak membuatnya jera sama sekali.
Masih menunggu kedatangan Jasmin, ia mengaduk kopinya dengan malas, memerhatikan sekeliling kafe yang selalu membuatnya nyaman.
Rea ingat betul bagaimana perjuangan Zenan untuk membangun kafe ini. Kakaknya itu tidak meminta rupiah sepeser pun dari ayahnya, Zenan mampu membangun kafe ini dengan uang tabungannya sendiri.
Desain kafe yang apik dan hommie. Langit-langit pada kafe ini dilukis dengan corak langit biru, berawan. Menakjubkan. Rea selalu menyukai lukisan langit-langit itu. Sama persis dengan yang ada di dalam kamarnya--bahkan lebih bagus daripada itu, dan Rea tahu persis kalau langit-langit di kafe ini juga buatan tangan Zenan. Semua yang ada dalam kafe ini hasil tangan kreatif kakaknya itu.
Menatap kaca besar di sampingnya yang terlihat elegan dan berhias pahatan disetiap sisinya ... Rea menatap bayangan dirinya sendiri melalui pantulan kaca, masih mengenakan seragam Prima Nusantara lengkap dengan blazer yang melekat pada tubuhnya.
Pandangannya beralih lagi pada dinding-dinding kafe, interior yang menarik. Banyak properti yang terpajang. Di ujung sana, setengah dinding dipenuhi oleh orname penghargaan dan piagam yang diraih Zenan dalam semua prestasinya, lalu dinding sebelahnya adalah deretan foto para artis yang sempat berkunjung ke sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satintail
ParanormalneBisakah aku memohon padamu untuk tidak bertindak selayaknya angin? Jangan seperti angin yang mudah datang dan mudah pergi Karena aku takut seperti ilalang yang hanya bisa melambai saat angin memilih pergi Ilalang yang pasrah menatap kepergian angin...