10: Ungkapan Padang Ilalang

2.6K 304 87
                                    

[Lagu yang digunakan untuk part ini: Afgan - Untukmu Aku Bertahan]

===========================

Tatapan nyalang pada lembar kertas bergaris biru yang baru saja dibagikan oleh ketua kelas membuat Davian mendesah frustasi.

Ia meremas kertas itu, perasaan tak karuan menyergap sudut hatinya. Angka 55 yang tercoret dengan warna merah itu semakin membuat tatapannya menajam. Ia tak menyukai hasilnya sendiri.

Kecewa! Ingin rasanya ia membuang kertas yang sudah diremas itu. Seluruh tubuhnya bergetar hingga membekaskan nyeri setiap kali ia bernapas. Urat-urat di tangannya terlihat nyaris keluar kala ia mengingat kejadian yang membuat ulangan Kimianya tak sesuai ekspektasi.

Davian semakin menenggelamkan tubuhnya yang bersandar di bangkunya. "Brengsek!" umpatnya dengan suara yang mungkin hanya ia yang bisa mendengar.

Dengan gerakan gusar, ia merapikan barang-barangnya di atas meja ke dalam tasnya. Rasanya ingin cepat-cepat pergi kemanapun, asal jangan melihat hasil ulangannya. Dan terpenting ... jangan sampai ia mengingat kejadian pagi tadi.

Sambil meraih tas dan mulai menggendongnya, Davian melirik sekilas ke arah Readinata yang ternyata juga memperhatikannya dari tempatnya duduk.

"Lo mau kemana?" tanya Rea sehati-hati mungkin ketika memperhatikan raut wajah kaku Davian. Tangan kanannya menyentuh pelan lengan Davian yang hendak beranjak, membuat dirinya ikut berdiri.

"Kemana aja asal gak di sekolah," balas Davian, ketus.

"Tapi ini kan belom jam pulang, Dav!"

Davian menengok pada cewek di sampingnya, menajamkan tatapannya yang membuat Rea tersentak dan melepas lengan Davian dengan refleks. "Gue gak peduli!" sahutnya, penuh penekanan.

Rea semakin tersentak saat Davian membalas dengan nada ketusnya. Bola matanya membulat selama beberapa detik dan menciut kembali untuk mengatur ekspresinya ketika tatapan Davian semakin lekat ke arahnya. Langsung saja Rea menundukkan kepalanya karena jantungnya berdebar tak karuan. Ia takut. Takut dengan tatapan mematikan dari Davian yang baru pertama kali dilihatnya.

Tersadar, Davian langsung membuang muka dan mulai berjalan meninggalkan Rea yang masih tertunduk. Davian tak mau ambil pusing. Masa bodo Rea akan berpikir seperti apa saat ini.

Davian pergi, tanpa melakukan basa-basi pamitan seperti yang biasa dilakukan keduanya. Tapi Rea tampak tak mengacuhkan hal itu, matanya mengikuti arah Davian berjalan meninggalkan kelas.

Fokusnya berada di Davian saat ini sambil memejamkan matanya, berusaha berkonsentrasi dengan Davian yang ada di dalam pikirannya.

Semakin dalam.

Tapi percuma! Yang ia dapat lagi-lagi hanya bayangan yang memudar dan gelap. Tak menemukan clue sedikit pun apa yang sedang Davian pikirkan.

Rea mendesah kasar, kembali duduk dan langsung menenggelamkan kepalanya yang bertumpu pada tangannya yang dilipat di atas meja. "Kenapa sikap lo balik aneh lagi sih, Dav? Lo kenapa? Pengen rasanya gue nanya ke lo, tapi lo selalu nutup diri lo. Pengen rasanya gue ngebuka apa yang ada di pikiran lo. Tapi percuma, Dav! Gue gak bisa liat apapun dari pikiran lo, otak lo, aura apa yang keluar termasuk suara hati lo."

.
.

Pagi hari, 06.30.

Davian menyisir ringan rambutnya yang bermodel asal-asalan. Sambil menaik-turunkan alisnya yang dirasa sudah menarik. Ia menarik asal tas gendongnya dan mulai mengenakan kaos kaki sebelum beranjak keluar dari kamarnya.

SatintailTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang