23: Perpecahan Rindu

854 137 11
                                    

Ada sebuah kata di antara kita
Kata yang tak pernah menyatu
Walau dalam sekejap mata
Kala gelap gulita
Telah menguliti sudut hati penuh luka
Kala kata imbuhan itu kuucap
Hingga subuh menjelang
Kata manis yang menyayat kulit hingga nadi
Dan kata itu juga
Telah membutakanku dalam angan
Kata itu satu, menyertaimu
Kata itu; harapan.

Sambil menyesap cokelat panasnya, Rea menatap tulisannya sendiri di layar laptop, lalu menyimpannya sebagai draft di laptopnya. Dua tahun berada di negeri orang, membuatnya justru menyimpan banyak karya di otaknya, se-per delapan hatinya terasa penuh dengan banyak ungkapan tak tersampaikan.

Ada rindu yang membuncah untuk orang-orang yang ia tinggalkan. Salah satunya, tentu saja Davian. Cowok itu yang selalu merebut sebagian waktu Rea kala sedirian seperti ini untuk memikirkannya.

Lalu jari-jari mungilnya mengotak-atik laptopnya, mengintip kembali barisan karyanya yang rata-rata berisikan kalimat serupa. Rindu, harapan, waktu, luka, dan sebagainya. Rea memang sudah punya rencana untuk membuat album baru saat nanti kembali ke negaranya. Minimal, single atau mini album.

Setelah mematikan laptopnya, Rea beranjak guna menaruh gelas bekas cokelatnya di westafel. Ia pun mengambil jaket dan sepatu booth dari rak, lalu menghampiri meja laptopnya lagi.

Pandangannya meredup, ketika menyadari bingkai foto yang terpajang di samping ponselnya berada. Ia dan Davian, foto setahun lalu yang diambil saat Rea pulang untuk liburan akhir semester. Itu adalah satu-satunya foto yang menyimpan kenangan terakhir tentang mereka.

"Gue mau kita punya foto yang dicetak biar bisa dipajang."

"Foto box aja lah," sahut Davian asal.

Membuat Rea mengangguk mantap dengan binar yang tak bisa disembunyikan. Ia langsung menarik tangan Davian menuju tempat yang dimaksud.

Sepulangnya dari Mall, Davian memberikan bingkai foto yang sudah mereka beli, memajang milik Rea di meja belajar cewek itu.

Dengan gusar, Rea menutup bingkai foto itu dan pergi meninggalkan flat setelah mengambil sling bag-nya. Bayangan singkat tentang Davian selalu membuatnya tidak karuan. Bahkan, Rea masih ingat bagaimana tangan Davian yang merangkulnya, kebiasaan baru mereka yang duduk di balkon lantai atas rumah Rea, sambil menikmati angin malam dan mengobrol hingga Rea mengantuk.

****

Setelah keluar dari apartemen, Rea menghirup udara yang berembus menusuk hingga ke tulang hidungnya. Akhir musim dingin di bulan Maret adalah masa yang paling Rea sukai selama berada di London.

Belum sempat Rea melangkahkan kaki, ponsel dalam sling bag-nya bergetar. Ia mengangkat panggilan itu tanpa melihat siapa penelponnya, langsung terdengar ramai dari seberang sana. Senyum tipis menghiasi bibir cewek itu ketika suara yang familiar menyapanya lebih dominan.

"Gimana saljunya hari ini?"

Itu pertanyaan paling tidak penting dari Zenan. Rea memutar bola matanya, sambil terkekeh sebelum menanggapi.

"Udah bisa nikmatin jalanan becek karena saljunya udah mulai cair, sebentar lagi gue siap nyambut musim semi."

Terdengar sorakan dari ujung sana. Zenan ini lagi dimana sih, rama banget kayak nonton pertandingan bola.

"Nikmatin aja musim dingin, di sini nggak ada, cuma ada musim ujan sama kekeringan doang."

Rea tertawa ringan. "Nggak enak, gue flu terus selama musim dingin, lo tau sendiri lah ngeluhnya gue gimana."

SatintailTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang