Sungguh, Rea merasa Davian merealisasikan ucapannya kemarin lusa--saat pensi sekolah; kalau dia sedang tidak ingin diganggu.
Dan sepertinya kehadiran Rea di sini semakin bertambah jelas kalau Davian sungguh tidak ingin bertemu dengan cewek itu. Ya buktinya saja, Davian tidak mau menengok apalagi mengajak ngobrol dirinya.
Helaan napas berkali-kali Rea lakukan, rasanya ia ingin pamit pulang. Melihat betapa dinginnya raut wajah Davian ketika mata mereka bertemu.
Tapi Rea masih berpura-pura biasa saja di hadapan Davian dan teman-temannya. Dia pura-pura sibuk dengan ponselnya yang sebeneranya tidak begitu menarik.
Namun tiba-tiba saja nama Jasmin muncul di layar ponselnya, membuat Rea menghela napas lega karena memiliki alasan untuk menghindar sejenak dari mereka.
"Kenapa, Kak?" tanya Rea setelah keluar dari kamar Davian yang kedap suara.
"Kamu besok bisa dateng ke acara CMagazine, nggak? Kamu alumni sana loh, Re!"
Rea menghela napas jengah, dan Rea yakin Jasmin pasti mendengar helaan napas itu. "Males. Bisa nggak sih, nggak usah ungkit masalah kerjaan kalo lagi libur gini?"
Kali ini Jasmin yang menghela napas berat. "Re, aku ini manager kamu, jangan lupa! Kakak cuma ngingetin jadwal kamu aja kok, dan kamu juga jangan lupa, kalo sekarang kamu masih jadi public figure, jadi waktu libur kamu pun harus dipake!"
Rea membulatkan matanya, sedikit terkejut dengan nada tinggi yang diberikan Jasmin. "Sejak kapan Kak Jasmin jadi penuntut kayak gini?"
"Nggak maksud gitu, aku cuma mau ngingetin kamu aja. Maaf, kalo kamu ngerasa kakak mulai ngatur, tapi ini untuk kebaikan karir kamu dan banyak orang. Inget, Re ... kamu itu artis yang punya predikat multi talent, kerjaan kamu juga melibatkan banyak orang, jadi kamu nggak bisa egois."
Rea diam sejenak, bingung mau membalas ucapan Jasmin seperti apa karena semua benar. "Aku yang mestinya minta maaf, aku cuma lagi jenuh aja. Kak, aku minta tolong banget hari ini jangan ganggu aku sama kegiatan dari manajemen, besok aku dateng kok ke acara CMagazine. Tapi mungkin agak telat."
"Oke, itu nanti biar aku yang urus."
"Makasih ya, Kak," ujarnya, tanpa peduli dengan balasan Jasmin di seberang sana, Rea langsung memutuskan sambungan teleponnya.
Ia menyandarkan punggungnya pada tembok di belakangnya. Dia merasa kegiatan terus menghampirinya, tapi satu sudut yang tak kasat mata masih terasa kosong, namun satu sudut lagi terasa menyakitkan. Semua tidak merata, tidak seimbang. Membuatnya merasa jenuh dengan pekerjaannya.
Rea mulai melangkahkan kakinya berniat masuk kembali ke kamar Davian. Namun langkahnya terhenti ketika melihat bingkai foto berukuran besar terpajang di ujung ruangan.
Foto keluarga Davian.
Di sana ada Davian kecil, kakak perempuannya, mamanya dan sosok pria di belakang Davian ... terasa tidak asing untuk Rea, seperti pernah melihat lelaki itu. Tapi dimana?
Ia semakin mendekatkan langkahnya pada figura itu. Ingin melihat lebih jelas, kalau orang di dalam foto itu cukup ia kenal.
Tapi semakin ia melangkah, ada sekelebat bayangan ketika foto itu dibuat. Semuanya terasa nyata di penglihatan Rea.
Semuanya. Tak ada yang terlewat.
Bagaimana senyuman mereka terasa nyata dan kebahagiaan itu seolah tertular padanya. Membuat Rea mau tak mau ikut tersenyum melihat kehangatan keluarga Davian dalam reka adegan foto itu.
Dan bayangan samar reka adegan itu membuat jantungnya berdegub kencang, terlalu kencang hingga napasnya tercekat ketika Rea menarik napas. Ada yang salah di sini. Ia iri dengan kehangatan keluarga Davian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satintail
ParanormalBisakah aku memohon padamu untuk tidak bertindak selayaknya angin? Jangan seperti angin yang mudah datang dan mudah pergi Karena aku takut seperti ilalang yang hanya bisa melambai saat angin memilih pergi Ilalang yang pasrah menatap kepergian angin...