"Kemana aja lo, tiga hari nggak masuk sekolah, nggak shooting juga. Udah mau main-main, ya?"
Rea memalingkan wajahnya, melihat Zenan yang sudah berjalan menghampirinya dengan napas yang terengah sehabis menaiki tangga.
Dengan terus memandangi Zenan, Rea mengerutkan keningnya serta menaikkan satu alisnya, ia masih belum paham kenapa tiba-tiba saja Zenan datang menghampirinya dengan tergesa.
"Kenapa deh lo, dateng-dateng nyerobot pertanyaan menyudutkan kayak gitu?"
Belum ada sahutan dari Zenan, kakaknya itu terus berjalan pelan dan menarik gelas berisi sirup berwarna merah di meja.
"Minta, haus."
Rea tergelak. "Dih, kenapa lo?" tangannya mencoba menarik gelas sirup yang hampir habis ditenggak Zenan. "Jangan diabisin, bikin sendiri san--."
"Haus gue, enak nih, seger."
Rea berdecak kesal, menatap nanar pada gelas kosong yang sudah kembali berdiri di meja. Gantian menatap Zenan dengan sebal. "Gak jelas anjir, dateng-dateng sirup gue diabisin."
Terlihat acuh, Zenan menaruh kunci mobil bersebelahan dengan gelas sirup. Menatap Rea yang juga memerhatikannya dengan dahi berkerut dan gitar di pangkuannya.
"Lo nggak sekolah, bolos shooting juga, mau lo apasih Re kayak gitu?"
Heuh, Rea memutar bola matanya jengah. Zenan mengulangi pertanyaannya dengan polesan kalimat yang berbeda.
"Males."
Zenan berdecak, sedikit kesal. "Malu-maluin aja. Lo udah mulai bosen jadi artis? Udah lupa, dulu siapa yang bikin lo jadi kayak gini?"
"Zen, lo bisa diem nggak? Gue tuh lagi pusing!"
"Pusing ngapain sih lo, abis ngeganja? Dunia artis bikin lo nggak bener? Iya?!"
"Apaan sih, Zen?! Lo tuh makin hari makin nggak jelas. Sekarang gue tanya, lo kenapa?!" tanya Rea, meninggikan nada suaranya, mulai tersulut emosi karena sikap Zenan yang aneh malam ini.
Dirasa pertanyaannya tidak mendapat sahutan, Rea melirik jam sekilas. Masih jam tujuh malam, Zenan sudah sampai di rumah. Aneh banget.
Yang semakin aneh lagi, ini interaksi paling banyak antara Rea dan Zenan selama dua tahun belakangan. Kenapa sih dengan kakaknya itu?!
"Sana lo pergi, gue mau nyanyi!"
Zenan masih bergeming, punggungnya semakin disandarkan pada sofa dan sedikit memejamkan matanya, seolah menikmati petikan gitar yang dimainkan Rea.
Tapi belum sempat nada dari senar gitar itu merambat pada sebuah nada lagu, Rea menghentikan petikannya. Memandang Zenan yang sudah memejamkan matanya.
"Lo tau darimana gue nggak sekolah atau pun shooting hari ini?"
"Jasmin."
Rea mengernyitkan dahi, untuk apa manajernya itu mengadu pada Zenan?
"Oh, lo ketemuan?"
"Hem."
"Dia bilang apa aja sama lo?"
"Kepo?" Zenan malah balik bertanya menyebalkan, kali ini dia menegakkan tubuhnya dan menatap Rea tajam. "Gue tanya sama lo sekali lagi, kenapa lo nggak sekolah dan bolos shooting sampe berhari-hari kayak gini?!"
Memiringkan bibirnya, Rea menghitung dalam hati, sebentar lagi Zenan pasti membentaknya.
"Kenapa, setan?! Jawab gue njir, malah diem aja, lo bisu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Satintail
ParanormalBisakah aku memohon padamu untuk tidak bertindak selayaknya angin? Jangan seperti angin yang mudah datang dan mudah pergi Karena aku takut seperti ilalang yang hanya bisa melambai saat angin memilih pergi Ilalang yang pasrah menatap kepergian angin...