22: It's Okay, It's Fine

928 146 17
                                    

04 Oktober 2017

Lupa sama jalan ceritanya karena terlalu lama update? Silakan di-review lagi part sebelum-sebelumnya.

Sorry, and thanks for waiting this story😁😚

Nano tunggu tebaran komentar dan bintang vote-nya👻👻

Buat kamu yang ngasih komentar fangirling, akan ada hadiah di ending nanti, Nano tunggu yaw!!

Cerita ini masih jauh dari perfect kan?




===========================

"Gue nggak tau apa hati gue masih butuh sosok Papa kayak dia atau nggak. Tapi gue pun nggak mau egois."

Beberapa menit lalu, Davian sudah menceritakan kronologi bagaimana dia dan Dewangga bertemu di kedai es krim yang mereka datangi. Dan sekarang, Rea siap menerima apapun ucapan sarkas Davian. Mendengar sahutan yang diberikan Davian barusan membuat tubuh Rea membatu. Ia tahu, akan ada kalimat sedingin itu yang pastinya keluar dari bibir merah Davian. Tapi sungguh, Rea tidak menyangka kalau ada sirat kebencian yang mendalam dari kalimat itu.

"Gue nggak paham, kenapa setiap ada di deket lo selalu berhasil buat gue jadi orang paling lemah. Tapi demi apapun, sekarang gue nggak tau lagi harus numpahin beban kayak gini dimana."

Rea tersenyum tipis, mengusap punggung Davian yang terasa rapuh. Iya, cowok itu terlihat sangat rapuh sekarang. Bahkan mungkin, keadaan hatinya lebih rapuh dari Rea.

"Sorry, lagi-lagi lo harus jadi pihak yang seolah tau segalanya tentang keluarga gue."

Rea tak menyahut, tapi ia tahu jelas kabar tentang Dewangga, semakin diperjelas kala Rea melihat semuanya di Bluesky. Tapi Rea tidak menyangka Davian mau dengan mudahnya membuka gerbang untuk Rea yang sudah terlanjur masuk lebih dalam ke hidup Davian.

"Gue nggak paham kenapa harus ada Dewangga di hidup gue, gue nggak paham kenapa harus dia yang nyumbangin darah terbesar dalam darah gue. Dan gue masih nggak paham, kenapa dia segampang itu untuk datang lalu pergi di hidup gue."

"Karena biar gimana pun, dia bokap lo."

Davian tak mengelak, memang benar ... bagaimana pun Dewangga tetap papanya.

"Tapi kenapa gue selalu jadi orang paling bego, yang nggak bisa apa-apa kalo gue inget dia pernah pergi dari hadapan gue beberapa tahun lalu ...," Davian menghela napas berat, ia enggan menoleh ke arah Rea. "Gue nggak bisa nahan dia untuk nggak pergi, dan tadi gue berusaha narik dia, tapi kata-kata gue seolah ngusir dia. Otak, hati dan bibir gue nggak sejalan!"

Rea tak berani berkata-kata, ia masih menunggu seluruh isi pikiran Davian ditumpahkan. Namun, satu hal yang ia tangkap dari ucapannya kali ini, Davian selalu menjadi sosok yang berusaha tegar, berdiri tegak disaat Dewangga bahkan memilih pergi.

Bahkan Rea masih ingat buruknya masa lalu Davian yang pernah diintip melalui piano klasik. Serumit itu keadaan Davian, dan Rea sebisa mungkin untuk menutupinya.

"Lo nggak bego! Cuma ... hati dan pikiran lo belum siap buat dapet hal nggak terduga kayak tadi--ketemu Dewangga secara tiba-tiba di waktu yang menurut lo nggak pas." Rea menatap Davian, menghela napas pelas untuk melanjutkan ucapannya. "Lo harus kuat! Nggak selamanya gue bisa dengerin lo curhat kayak gini."

Davian mengerutkan keningnya, Rea langsung menoleh ke arah lain dan enggan menatap Davian yang kebingungan dengan ucapannya.

"Maksud lo, gimana?"

Hening cukup lama, Rea menunduk sedangkan Davian menunggu kelanjutan ucapan Rea.

"Maksud gue ... lo harus tetep jadi sosok Davian yang kuat, lebih dari ini. Karena sebentar lagi, gue nggak akan bisa ada di deket lo untuk dengerin lo cerita secara langsung kayak gini."

SatintailTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang