Tibalah aku di rumah. Masih sepi. Mungkin ayah belum pulang dan bi Dastri bilang bunda sedang keluar. Aku tidak mau tahu tentang kak Babas sekarang, meskipun aku rindu padanya.Aku pergi menuju kamarku. Rasanya berat untuk menaiki beberapa anak tangga di rumah ini.
Ku baringkan tubuhku sambil menghempaskan semua penat yang ada di otakku. Lima hari lagi pentas seni akan dilaksanakan dan aku belum sepenuhnya mempersiapkan dengan matang. Aku tidak yakin dengan permainan soloku. Entahlah rasa takut itu muncul ketika aku sedang kacau seperti ini.
Ponselku berbunyi. Ku tatap malas layar ponselku. Kau tahu siapa penelponnya? Ya, aku mendapati Ello menelponku. Sudah aku duga sebelumnya. Aku mengabaikannya, karna aku tidak ingin berdebat dengan pria aneh itu lagi. Panggilannya terputus. Lima detik kemudian ponselku berbunyi lagi. Aku tetap tidak meladeninya. Terserah dia mau marah atau apa. Malah bagus jika dia marah dan menjauh dariku. Ku ubah setelan dering ponselku menjadi mute dan ku hempaskan ponselku ke sembarang tempat.
Ku ambil handuk yang menggantung di balkon dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
*******
'Kringgggggggggggg~' suara berisik itu membangunkan tidur siangku.
Ku tatap meja di samping tempat tidurku. Pukul 17.00 wib. Sepertinya aku terlalu lelah. Seusai aku mandi tadi, tak terasa rasa kantukku menjalar dan membuatku terlelap hingga jam alarm yang aku pasang sebelumnya berbunyi. Ku cari-cari ponselku yang aku lupa diletakan dimana. Ah sial, aku lupa jika setelan ponselku ku ganti dengan mute.
Setelah aku menelusuri kamarku, akhirnya aku menemukan ponselku. Ku aktifkan layar ponselku dan betapa terkejutnya aku. 214 panggilan tak terjawab dan 121 pesan belum terbaca. Kau tahu? itu semua dari Ello.
Tiba-tiba ponselku berdering dan benar saja, nama Ello yang kudapati. Niatku ingin mengabaikannya lagi. Tapi melihatnya bersikeras menelponku, akhirnya dengan enggan aku menjawab telponnya.
"Halo?" sapaku dengan nada yang dibuat ramah.
"Dimana kau sekarang?!" bentaknya. Aku menjauhkan ponselku dari telingaku dan menautkan alisku. Apa ia semarah itu? Tapi untuk apa ia marah? Ku letakan kembali ponselku pada telingaku.
"Al! Jawab!" paniknya.
"Aku di rumah. Ada apa?" jawabku berusaha tenang.
"Kau baik-baik saja? Apa terjadi sesuatu?" introgasinya.
"Ya, tentu. Memangnya ada apa denganku?"
"Syukurlah, aku kira kamu kenapa-kenapa. Mengapa kau tidak ke taman belakang hari ini?"
"Aku sudah ke sana pagi ini."
"Saat pulang sekolah kamu tidak ke sana. Aku menunggumu tadi." ucapnya yang sontak membuatku menautkan alis seraya memutar bola mataku.
"Oh ya? Kenapa kau menungguku?"
"Hanya ingin memastikan kau baik-baik saja dan...." ia menjeda kalimatnya.
"Dan?"
"Dan memastikan makhluk planet lain tidak ada yang membawamu terbang." sambungnya.
"Kau bergurau?! Itu sama sekali tidak lucu!"
"Tidak, tidak. Aku tidak bergurau. Aku takut temanku satu-satunya hilang dari planet ini. Aku benar-benar takut itu terjadi, karna akan sulit menemukan seseorang sepertimu dan pasti akan sulit menangkapmu jika kau dijatuhkan makhluk itu dari atas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Violyn's Guitar
Teen FictionViolyn Alveera Lacerta. Nama yang indah sekaligus aneh bagiku. Entahlah, mengapa ayah memberiku nama itu. Violyn? Violin? Biola? Ah, bahkan sampai sekarang aku belum bisa memainkannya. Jangankan memainkannya, menyentuhnya pun sudah sejak lama tak ku...