Putih. Itulah yang ku dapati dari ruangan asing yang kini ku tempati. Aku mengerjapkan mataku sesekali untuk memfokuskan pandanganku yang buram. Tanganku membantuku beranjak dari kasur yang sejak tadi aku tempati. Ku dudukan tubuhku sambil ku senderkan pada besi di ujung kasur itu. Ku pandang ruangan itu sambil berusaha untuk mengumpulkan tenaga.
UKS?
Mengapa aku ada di UKS?
Ah, pasti ini akibat ulah konyolku di taman belakang tadi. Aku terlonjak kaget ketika aku mendapati seorang pria yang berdiri di samping pintu UKS. Bodoh, sejak kapan dia disana? Mengapa aku tak merasakan kehadirannya? Aku mengalihkan pandanganku darinya lalu mengumpatkan ekspresi terkejutku dan mulai memasang wajah datar."Selain ceroboh, kau juga bodoh rupanya." ucapnya tertawa hambar.
Aku hanya diam tak membalas pernyataannya. Sebenarnya aku ingin sekali membalasnya, tapi aku tahan. Aku tak ingin berurusan dengan siapapun di sekolah ini. Aku juga berniat pergi dari sini dan melupakan kejadian ini. Jadi aku pun beranjak dari kasur yang tadi aku duduki dan mengambil tasku yang ada di sofa. Tunggu, ada sesuatu yang mengganjal dihatiku. Seperti ada sesuatu yang kurang. Aku menopang daguku dan menumpukan tangan kananku diatas tangan kiriku yang aku lipat di dada, berpikir sejenak dan mengingat apa yang hilang.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Empat detik.
Lima detik.
Aku mendengar suara decihan dari pria itu. Apa dia tau apa yang sedang aku pikirkan? Mana mungkin.
"Jika kau ingin gitar cantik mu kembali, maka bertemanlah denganku." ungkapnya tersenyum sinis padaku, mengulurkan tangan kanannya.
Aku sangat terkejut saat mendengar pernyataan darinya. Gitar putihku. Gitar kesayanganku. Harus ada di tangan orang lain seperti dia yang tak mau ku ketahui identitasnya. Aku menghela napas panjang. Ingin rasanya aku menangis, tapi aku tak sudi menangis di depan orang yang tidak aku kenal, apalagi dia yang membuatku sedih, memisahkanku dengan gitar kesayanganku. Aku menatap tajam dada bidangnya, karna aku tak ingin menatap wajahnya, apalagi matanya.
28 ? Itu adalah logo angkatanku. Mengapa banyak pria diangkatanku yang modus-modus tak jelas. Ah, masa bodo dia angkatan berapa. But, now I really feeling so angry!"Kalau begitu ambil saja, aku tak sudi berteman denganmu." ketus ku mengacuhkan uluran tangannya. Aku tak pernah bersikap tidak sopan seperti itu. Ini pertama kalinya untukku. Entahlah, mungkin karna aku tak bisa menahan emosiku saat ini.
Aku pun buru-buru keluar dari ruang menyesakkan itu dan meninggalkan pria itu dengan tatapan marahku padanya. Masa bodo, dia akan menganggapku wanita galak ataupun tak punya perasaan. Aku tak ingin bertemu dengannya lagi. Itu membuatku muak.
************************
Pagi yang menyedihkan bagiku. Karna aku tau bahwa aku akan sendirian tanpa gitarku nanti. Entahlah bagaimana aku memintanya mengembalikan gitarku. Yang jelas, aku takkan berteman pada siapapun saat ini, kecuali dengan sahabatku, mungkin pacarnya juga. Aku juga tidak ingin terlalu dekat dengan orang asing yang baru aku kenal di SMA. Ini benar-benar membuatku stress.
"Hei! Wanita galak berambut coklat!" teriak seseorang dibelakangku.
Aku tak pedulikan teriakan itu. Mengapa para murid di sekolah ini hobi sekali berteriak seperti itu? Sungguh, ini masih pagi. Berisik sekali sekolah ini.
"Oh, ayolah. Apa kau tuli?!"
Apa dia memanggilku? Rambutku memang berwarna coklat, tapi aku rasa aku pendiam di sekolah ini. Aku pun tidak tuli. Mungkin bukan aku.Tiba-tiba pundakku ditarik hingga aku menghadap ke arah si penarik pundakku. Aku terkejut karna itu pertama kalinya aku ditarik seseorang yang tidak aku kenal. Aku hanya mengumpatkan ekspresi terkejutku. Aku hanya bisa melihat dada bidangnya karna dia terlalu tinggi. Jadi aku tidak perlu memejamkan mataku. 28? Lagi? Oh ayolah, terkutuklah pria angkatan ini. Tapi untuk apa dia menarik pundakku? Apa aku mengenalnya? Aku ingin memberontak tapi logika ku berkata, tidak baik seorang wanita mengabaikan lawan bicaranya. Mungkin saja dia salah orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Violyn's Guitar
Teen FictionViolyn Alveera Lacerta. Nama yang indah sekaligus aneh bagiku. Entahlah, mengapa ayah memberiku nama itu. Violyn? Violin? Biola? Ah, bahkan sampai sekarang aku belum bisa memainkannya. Jangankan memainkannya, menyentuhnya pun sudah sejak lama tak ku...