24

85 6 2
                                    


Selembar amplop berwarna merah yang dua hari lalu ku terima, menarik perhatianku. Aku belum mempunyai keberanian membukanya. Aku juga bingung kenapa labil seperti ini. Padahal saat pertama kali surat ini sampai, aku ingin sekali membukanya.

Biarkan saja, toh nanti aku buka juga. Ku letakan amplop itu diatas paket yang beberapa minggu lalu juga sampai. Paket yang Ello bilang kiriman dari Andromeda.



Cekrek



Tiba-tiba kak Babas masuk ke kamarku tanpa permisi. "Ra... sini deh bantu kakak pilihin undangan."


"Bisa kali, kalo masuk kamar orang, ketuk pintu dulu. Kalo orangnya lagi ganti baju kan bahaya juga." cibirku kesal. Aku duduk di atas tempat tidurku sambil memberengut kesal.


Kak Babas malah tertawa meledekku. Ia menghampiriku dan mengelus puncak kepalaku dengan sayang.


"Kalau kamu ganti baju pun, kakak gak akan napsu sama kamu dek, hahahaha."


Ku cubit perutnya yang keras itu. Lalu ku pukul berkali-kali lengan besarnya. Dasar kakak menyebalkan.


"Auuhhh, atit... Dedek lala ja at nih ama kakak, ahahahahaha." Kak Babas masih saja mengejekku.


Sepertinya kejailannya masih terus berlanjut. Tawanya saja tak mau berhenti. Lebih baik aku tinggalkan ia di kamarku.


Aku melangkah pergi keluar kamar. Sialnya kak Babas sudah lebih dulu mencekal tanganku. "Eitsss, main kabur-kabur aja. Kakak kan udah bilang, bantuin kakak dulu pilihin kartu undangan."


"Gak mau. Kakak nya ngeselin."


"Ngeselin gini juga kamu sayang."


"Isshhhhh, PEDE BANGET SIH !" Tanganku di tarik lagi sebelum aku melenggang pergi.


"Gak usah ke kanak-kanakan deh. Penting nih. Masa sama lovely best brothernya gak mau bantu sih. Katanya saudara."


Dengan kesal, ku rebut kartu undangan itu dari tangannya. Ada dua desain di sana. Satu yang berwarna merah hati dengan hiasan pita dan bunga emas. Satu lagi berwarna biru dongker dengan hiasan taburan glitter yang membuat kesan gemerlap bintang.


"Nih." Aku kembalikan kartu yang berwarna merah hati itu. "Aku pilih yang ini." lanjutku mengintrupsi sambil menunjukan undangan berwarna biru dongker pilihanku.


"Yang ikhlas dong, dek. Masa kakaknya sebentar lagi nikah malah dijutekin. Kalo kakak udah pindah rumah, kangen loh." Dalam situasi menyebalkan seperti ini, kak Babas masih saja merayu dengan gombalan ala'ala' nya.


"Yang penting aku kasih voting kan? Udah ah sana pergi." ujarku malas. Ku dorong tubuh kekarnya agar keluar dari kamarku.

Violyn's GuitarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang