"Vi... Vio..." Suara bass itu memanggil namaku. Aku menoleh dan mendapati kak Reikan berlari mendekatiku.
"Ada apa kak? Apa ada masalah?" tanyaku bingung.
"Ikut kakak ke ruang musik yuk. Kita ada rapat dadakan."
"Rapat dadakan?"
"Iya, bu Nana tadi memberikan info padaku dan ia bilang harus secepatnya di sampaikan pada kalian, ayo ke ruang musik!" ajak kak Reikan. Ia pergi mendahuluiku ke arah yang berlawanan. Sepertinya dia sedang mencari anggota lain. Dengan langkah gontai, aku berjalan berbalik arah dari kantin.
Belum sempat aku memenuhi panggilan perutku yang sudah meraung sejak tadi, sudah ada panggilan lain lagi. Kelasku baru saja istirahat karna post test kimia terkutuk dari guru paling sangar seantero sekolah, pak Egi. Entah apa yang di pikirannya. Ketika bel istirahat berbunyi, ia malah menahan kami untuk ikut post test. Alhasil, waktu istirahat kami terpotong 20 menit. Lalu sekarang, istirahatku juga di potong gara-gara panggilan mendadak ini. Bisa-bisa saat pelajaran Kewarganegaraan oleh bu Ratih, aku pergi ke kantin dengan alasan izin ke toilet.
Kutarik tuas pintu ruang musik dan masuk ke dalamnya. Tidak ada siapa-siapa di dalam. Akhirnya aku menunggu sambil mendengarkan musik dari mp3 player-ku. Alunan dentingan piano yang berjudul Gavotte ciptaan Francois Joseph Gosec terdengar merdu dari earphoneku. Tiba-tiba tuas pintu terbuka. Seseorang yang berperawakan agak gempal itu masuk ke dalam. Ternyata Bento yang datang. Ia menoleh ke arahku dan tersenyum. Aku membalas senyumnya dengan kikuk. Ia duduk di pojok dekat seperangkat alat drum, sedangkan aku duduk di dekat jendela.
Tuas pintu terbuka lagi. Kali ini Ello yang datang. Ia tersenyum kikuk ke arah Bento, kemudian menoleh ke arahku datar. Langkahnya aku yakin menuju ke arahku. Sampai ia berdiri di hadapanku. Aku mendongak ke atas melihat tatapan tajamnya. Loh? Dia kenapa. Keningku berkerut membalas tatapannya itu, tapi dia memberikan sebungkus plastik padaku.
"Terima ini dan ikut aku !" ucapnya sarkastik sambil menarik tanganku keluar ruangan. Bento yang ada di ruangan itu menampakan ekspresi bingung melihat kami berdua.
Setelah kami keluar ruangan, Ello masih saja menatapku tajam. Karena merasa bingung aku berniat untuk bertanya. Sayangnya sebelum aku berkata sepatah kata pun, Ello sudah memotongnya.
"Kau selalu membuatku khawatir. Isi perutmu dulu, setelah itu baru kau boleh masuk ke sini!" perintahnya. Aku membelakakan mata ketika kubuka bungkusan plastik yang ia berikan padaku. Ada roti, biskuit, susu uht dan nasi bekal yang aku duga adalah bekal miliknya.
"Ke-kenapa banyak sekali? Sejak kapan kau sok peduli padaku? Aku tidak lapar!" balasku dengan lantang. Tatapannya makin tajam, ia melangkahkan kakinya mendekatiku.
Badannya membungkuk, lalu memposisikan wajahnya agar sejajar dengan wajahku. "Diam dan tak usah banyak komentar. Apa otak dan hatimu buta? Aku saja bisa merasakan laparnya perutmu. Mengapa kau tidak? Cepat makan atau kularang kau untuk ikut band ini!"
"Apa hak mu ! Aku bisa melakukan apa yang aku ingin lakukan !" Tanganku mendorongnya sampai punggungnya membentur tembok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Violyn's Guitar
Teen FictionViolyn Alveera Lacerta. Nama yang indah sekaligus aneh bagiku. Entahlah, mengapa ayah memberiku nama itu. Violyn? Violin? Biola? Ah, bahkan sampai sekarang aku belum bisa memainkannya. Jangankan memainkannya, menyentuhnya pun sudah sejak lama tak ku...