Bunyi deringan keras terdengar dari jam wekerku. Sudah lebih dari seminggu aku tak melihat Ello. Hari ini juga lomba Band akan berlangsung. Tempat vokalis juga sudah di isi. Kak Raikan mempercayakan tempat itu kepada Sax. Ya, dia ikut audisinya. Mungkin sebagai saudara Ello, Sax memiliki suara yang sama bagusnya dengan Ello. Padahal aku pikir Ello yang lebih bagus.Aku bangkit dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi. Setelah selesai, aku turun untuk sarapan. Ada aura berbeda yang aku rasakan ketika aku turun. Benar saja, pagi ini ada seseorang yang menyelinap diantara meja makan keluargaku.
"Pagi, Ra.. Mimpi indah malam tadi?" tanya Sax.
Aku menjawabnya dengan senyuman. Malah ku pikir ini bukan senyuman, lebih seperti cemberut.
"Cieee yang pagi-pagi udah di jemput doi. Senyumnya sampe malu-malu gitu." Kak Babas melewati ku sambil mencolek daguku.
Karena kesal, aku injak kaki kak Babas. Ia sempat meringis, tapi selanjutnya malah tertawa.
"Loh, kok injak kaki kakak sih, Ra? Kalo kamu malu, bilang aja lagi jangan melampiaskan ke orang. Cie cieee mukanya merah kayak kepiting rebus." Bukannya minta maaf, kakakku itu malah makin menggodaku.
"Berisik!" ketusku.
Bunda dan Ayah malah tertawa melihat kami. Begitu pula Sax. Sepertinya dia sudah mulai akrab dengan keluargaku, terutama kak Babas.
Sebenarnya bukan salahnya kalau dia sudah mulai akrab dengan keluargaku. Mungkin ini juga caranya untuk melakukan pendekatan. Tapi hatiku tetap tidak rela. Ingin rasanya menolak takdir ini, tapi apalah dayaku.
Aku duduk di samping Sax. Kulirik dari sudut mataku, ia tersenyum. Aku harap, aku bisa berdamai dengan hatiku dan terima Sax seperti aku terima Ello.
Kami sarapan dalam diam. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang beradu. Tak ada niatan aku untuk membuka suara. Begitu juga Sax. Mungkin Sax lebih menjunjung tinggi mannernya.
Setelah selesai sarapan, aku dan Sax pamit pada Ayah dan Bunda. Aku pun masuk ke dalam mobilnya. Suara radio berseru memecah keheningan antara kami berdua. Mobil Sax melesat cepat di jalanan ibukota.
Agak berat melaksanakan syarat yang diberi Sax padaku. Entahlah, mungkin aku belum terbiasa. Masih terbayang di benakku tentang orang itu. Bayangnya seakan tak ingin hilang dari pikiranku. Aku benci ini. Aku benci perasaanku kali ini. Aku.. Aku merindukan Ello.
"Ra?" Sax yang di sampingku membuyarkan lamunanku. "Kok ngelamun? Ada apa?" tanyanya.
"Enggak. Gak papa kok. Kita sudah sampai ya?" Sax menganggukan kepalanya lalu bergegas keluar untuk membukakan pintu untukku.
"Pelayanan terbaik untuk wanita terbaik." ucap Sax sambil menjulurkan tangannya. Aku tersenyum kecut menyambut tangannya.
"Terima Kasih." balasku.
Kami berdua berjalan berdampingan memasuki ballroom utama. Sudah banyak yang berkumpul disana. Dari yang masih terlihat biasa saja seperti grup Band kami, sampai yang terlihat profesional pun ada disana. Aku bergidik ngeri saat salah satu band yang ku lihat berpenampilan seperti preman pasar. Menyeramkan.
Kak Lily melambaikan tangannya ke arahku. Aku tersenyum dan berlari menghampiri mereka. Sayangnya aku menabrak pelayan disana dan tergelincir.
Semua orang yang ada di sana berteriak. Aku memejamkan mataku, sampai aku merasakan sebuah tangan merangkul pinggangku dan menahan tubuhku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Violyn's Guitar
Teen FictionViolyn Alveera Lacerta. Nama yang indah sekaligus aneh bagiku. Entahlah, mengapa ayah memberiku nama itu. Violyn? Violin? Biola? Ah, bahkan sampai sekarang aku belum bisa memainkannya. Jangankan memainkannya, menyentuhnya pun sudah sejak lama tak ku...