Kadang kita tidak tahu bagaimana rasanya ketika kita menjadi orang lain. Menjadi sudut pandang berbeda di cerita kita. Karna inilah, aku tidak pernah tahu apa yang kau rasakan dan kau tidak pernah tau apa yang aku rasakan.
Aku menatap jauh ke dalam lapangan berbentuk persegi panjang yang sebelumnya ku kelilingi. Beberapa siswa tampak sedang melakukan penilaian sama sepertiku sebelumnya. Tak sedikit sekelompok siswi yang sedang beristirahat di bawah pohon yang rindang. Sendirian. Itulah yang biasa aku lakukan. Rasa lelah menyergap tubuhku. Ku pejamkan mata sambil ku rebahkan tubuhku di hamparan rumput yang sedari tadi aku duduki.
Hawa dingin tercetak bulat di keningku. Aku membuka dan membelakakan mataku terperanjat melihat Ello menempelkan sebotol air mineral dingin seraya menatapku teduh seteduh pohon rindang ini. Mata abu-abunya terus memperhatikanku lekat membuatku risih akan keberadaannya.
"Nih, minum. Pasti kamu haus." ujarnya sambil membuang pandangannya ke arah lapangan. Aku hanya mengernyitkan alisku dan menggeleng pelan.
"Gak usah. Aku bawa air minum." balasku singkat. Aku menggeser tubuhku menjauh darinya. Tapi dia malah ikut bergeser.
"Minuman kamu udah aku habiskan. Sekarang kamu sudah tidak punya air minum, jadi kamu minum ini." tuturnya yang sontak membuatku terkejut. Aku hanya bisa memandangnya tak percaya. Untuk kesekian ribu kalinya ia berhasil membuatku kesal.
"Gak usah. Aku bisa beli sendiri." ketusku menatap sinis Ello. Ia menoleh ke arahku menatapku dengan datar.
"Bandel. Minuman di kantin sudah aku beli semua." balasnya.
"Ha-ha. Lucu sekali. Bahkan untuk membuatku menerima pemberianmu, skill membujukmu sungguh payah. Maaf, aku tidak akan termakan ucapan bodohmu yang mustahil itu." cibirku sambil membuang pandanganku.
Dapat ku rasakan tatapan Ello memperhatikanku lekat. "Aku tidak bohong. Silahkan kamu pergi ke kantin, maka tidak akan ada penjual yang akan memberimu minuman." ucapnya dengan nada menantang. Aku mengerutkan keningku dan mendengus ke arahnya. Ia hanya tersenyum sinis.
Aku berdiri dan membersihkan bajuku lalu berbalik menatap Ello yang sedang duduk santai bertumpu kedua tangannya. Senyum tipisnya tertarik dari bibirnya. Terlihat sekali ia menantangku untuk membenarkan semua perkataannya. "Dasar pemaksa!" Aku menghentakan kakiku sambil meninggalkannya sendiri di bawah pohon. Ku percepat langkahku dan berharap sosoknya enyah dari hadapanku. Sialnya, langkah lebar kakinya mampu mensejajarkan tubuhnya dengan tubuhku. Tangannya mencekal pergelangan tanganku. Ku hentikan langkahku dan menoleh kasar ke arahnya.
"Apalagi sekarang?!" hardikku. Entah sejak kapan aku bisa bersikap sekasar ini pada orang lain. Seingatku, aku tidak pernah kasar kepada siapapun di sekolah ini, tentu sebelum kedatangannya ke sekolah ini.
"Bisa gak sih kamu bersikap manis padaku?" tanyanya dengan mimik datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Violyn's Guitar
Teen FictionViolyn Alveera Lacerta. Nama yang indah sekaligus aneh bagiku. Entahlah, mengapa ayah memberiku nama itu. Violyn? Violin? Biola? Ah, bahkan sampai sekarang aku belum bisa memainkannya. Jangankan memainkannya, menyentuhnya pun sudah sejak lama tak ku...