Hembusan angin menyeruak masuk melalui jendela kamarku. Sore ini cuaca sedang tak bersahabat. Terlihat sejak siang tadi langit terus menjatuhkan titik-titik air bersama senandung gemericik air yang bergesekan dengan bumi. Niatku untuk pergi ke toko buku dengan Caca terkikis sudah. Padahal ada novel terbitan baru yang sedang diincar Caca. Sudahlah, mungkin lain waktu ia akan mendapatkannya.
Beberapa lembar notasi balok ada di tanganku. Sengaja Ayah berikan padaku untuk dipelajari. Ayah bilang, saat pernikahan kak Babas nanti aku harus menjadi pengiring piano selama pengantin menyalami tamu undangan. Ya, meskipun kemampuan pianoku nol besar jika dibanding dengan kak Babas, tapi aku harus berusaha. Akan sangat memalukan jika nanti aku ditunjuk spontan untuk bermain piano tapi aku tak bisa memainkannya.
Beberapa hari yang lalu aku sudah mulai belajar memainkannya. Tentu dengan bimbingan kak Babas. Dengan telaten dia mengajariku detail. Untung saja darah Ayah masih mengalir dalam diriku. Tak sulit untuk menyerap semua pelajaran yang kak Babas berikan.
Berbicara soal hujan yang sedari tadi menemaniku, apa kabar nanti malam. Jantungku berdebar kalau sudah membayangkan kejadian-kejadian yang akan terjadi nanti malam. Ada gelenyar aneh yang berkedut di sekitar perutku. Seperti banyak kupu-kupu berterbangan yang terus memenuhi perutku itu.
Ello, apa kabar kamu sampai saat ini. Sudah sejauh mana kamu siksa aku dengan rindu ini. Apa aku sudah terlambat jatuh cinta? Kenapa kamu selalu memenuhi pikiranku dengan sikap menyebalkanmu itu? Apa aku egois jika aku inginkan kamu, bukan Sax ?
Ah, otakku sudah tak fokus lagi dengan lembaran demi lembaran not balok ini. Bisa-bisanya aku memikirkan hal-hal yang membuat konsentrasiku buyar. Ku rapihkan lembaran demi lembaran kertas itu dan meletakannya diatas nakas.
Sudah pukul 18.03 WIB, sebaiknya aku bergegas untuk melaksanakan ibadah.
***
Jeans dongker panjang beserta blouse putih melekat pada tubuhku. Sedikit polesan wajah mungkin tak berlebihan untuk pertemuan ini. Rambut coklatku kini tergerai indah disepanjang bahu. Ku ambil sling bag bertuliskan "V" dari lemari dan memasukan beberapa benda kedalamnya.
Sempurna !
Sudah pukul 19.41 WIB, sebaiknya aku bergegas. Ku percepat langkahku menuruni anak tangga dirumah. Kemudian mencari sneaker ku yang harusnya ada di rak sepatu. Setelah dapat, aku bergegas mencari keberadaan Bunda yang hilang bagai ditelan waktu. Sore tadi masih berisik memanggil-manggil aku untuk ibadah berjamaah. Sekarang malah hilang entah kemana.
"Bun....." panggilku setengah berteriak.
"Bunda...." masih tidak ada jawaban. "Bunda, bunda dimana?" tanyaku lagi.
Tiba-tiba sebuah tangan merangkul bahu ku kemudian menjulurkan telapak tangannya untuk menekan kedua pipiku. Aku memukul lengannya itu. Ku cubit dia dengan sekali sengatan. Ia meringis dan mengusap-usap bagian yang ku cubit tadi.
"Galak amat sih jadi cewek. Ditinggal cowok nya baru tau rasa kamu !" ringis kak Babas kesakitan.
"Abisnya usil banget sih sama adiknya. Bikin jantungan aja." dengusku sambil memperhatikan kak Babas mengusap-usap lengannya. Ingin rasanya aku tertawa, tapi aku masih dalam angry mode on. Jaim dulu lah. "Kak, Bunda mana?" tanyaku kemudian.
"Tau deh ! Pergi ke khayangan kali." jawabnya asal.
"Ih, ditanya serius tuh jawabnya serius !"
"Kalo mau diseriusin tuh sama calon suami kamu aja. Jangan minta ke kakak." Halah, apa lagi ini. Bukannya jawab bener malah makin gak bener.
"RESE !" kesalku. Aku pergi dari hadapannya sambil menghentak-hentakan kakiku kencang. Kak Babas malah tertawa. Ia mencekal tanganku yang kemudian ku tepis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Violyn's Guitar
Teen FictionViolyn Alveera Lacerta. Nama yang indah sekaligus aneh bagiku. Entahlah, mengapa ayah memberiku nama itu. Violyn? Violin? Biola? Ah, bahkan sampai sekarang aku belum bisa memainkannya. Jangankan memainkannya, menyentuhnya pun sudah sejak lama tak ku...