19

74 7 6
                                    


Sudah lebih dari setengah jam aku duduk di meja belajarku sambil mengerut-kerutkan keningku, membaca lembaran demi lembaran yang dari tadi menarik perhatianku. Eh bukan! Tumpukan kertas ini memaksaku memperhatikannya. Kata 'mengerjakan' lebih tepat seharusnya. Tapi apalah daya, pahamku berbeda. Ya, PR dari guru killer disekolahku, pak Egi. Padahal besok hari minggu, tapi beliau memperintahkan ketua kelasku untuk mengumpulkan tugas ini dirumahnya besok tepat pukul 09.00 WIB. Alhasil aku lembur deh sekarang.

Sebenarnya soal-soalnya tidak banyak, hanya tiga soal. Tapi ilustrasi yang ditulis pak Egi dalam soal, terlalu berbelit dan butuh pemahaman tingkat tinggi. Setidaknya soal ini sedikit bisa aku pahami ketimbang soal Ello.

Berbicara soal Ello, selepas kak Babas bilang padaku Ello masih dibawah, aku berlari kecil keluar kamar, menuruni tangga lalu membuka pintu berniat mengajak Ello masuk. Mengingat kejadian sebelumnya yang aku kira sangat awkward. Tepat saat aku membuka pintu, mobil itu berjalan menjauh dari rumahku.

Aku jadi tak enak hati padanya. Apa kata-kataku sebelumnya benar-benar merobek hatinya yang terdalam? Entahlah, hanya dia yang tahu.

***

Suara dering ponselku terdengar nyaring. Membuatku mengeluh kesal. Kulirik nama kontak yang tertera disana. Baran. Aneh, tumben dia menelponku.

"Ha-low.." sapaku setengah menguap.

"Gak usah basa basi deh, lo dimana buru !" Aku menjauhkan ponselku dari telinga dan memastikan kontak itu benar-benar Baran.

Ya, ini kontak Baran. Kok dia marah marah gini sih, salah sambung mungkin. "Bar, kamu gak salah sambung? Kok nelpon aku marah-marah gini? Ini masih pagi loh dan kamu udah marah-marah, awas resiko darah tinggi meningkat."

Kudengar helaan napas disebrang sana. "Vioooo... Sekarang jam berapa?! Lo gak lupa buat ngumpulin tugas si kakek sihir berkacamata kan? Lima belas menit lagi jam sembilan dan tinggal lo yang belum ngumpulin, Vio!"

Aku berjengit kaget dan langsung melirik jam dinding dikamar. "Ha?! Astagfirullah sorry, aku baru bangun. Iya iya aku ke lokasi sekarang." Refleks aku lompat dari tempatku menarik buku tugas lalu berlari menuju garasi tanpa peduli rasa sakit ditengkuk ku karna tidur sambil duduk. Yep, sialnya aku ketiduran di meja belajar.

Suasana rumah lumayan sepi. Mungkin ayah ada diruang kerjanya. Kalau kak Babas mungkin sedang keluar, jogging pagi. Kulihat bunda yang sedang berekspresi di dapur dengan pisau dan celemeknya terlihat agak murung. Mungkin karena tak ada Bi Dastri yang menemaninya. Hari ini assisten rumah tanggaku sedang pergi ke rumah keluarganya. Ajat, anaknya Bi Dastri sakit katanya.

Aku yang berlari kecil menuruni tangga tak sengaja dipergoki bunda. "Loh? Ra? Kok buru-buru? Ini hari minggu, Sayang." Bunda menoleh ke arahku dengan tatapan bingung. Mungkin karna anak gadisnya jam segini di hari minggu bersikap aneh seperti di kejar hantu.

"Urgent, Bun" jawabku singkat.

"Itu kamu masih pakai piyama loh." Tanya bunda menunjuk pakaian yang aku kenakan. Masa bodo dengan penampilan menjijikanku saat ini. Pokoknya aku ingin secepatnya menyerahkan tugas menyebalkan ini.

Aku tetap lari terbirit-birit sambil menjawab pertanyaan bunda sekenanya. "Iya iya Rara tau, Bun. Bentar, ada urusan mendadak. Urgent. Gak bisa ditinggalin. Bye Bun, Assalamu'alaikum." Pamitku.

"Waalaikumsalam, hati-hati Ra.." teriak bunda dari dalam.

Ku ambil sepedahku dan mulai mengayuhnya sekuat yang aku bisa. Dengan beberapa tenaga yang aku kumpulkan, sepeda itu melesat cepat membelah jalanan komplek yang dipadati muda-mudi berolahraga.

Violyn's GuitarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang