"Ello." Ucap pria itu sambil tersenyum menghentikan tawanya dan menyodorkan tangan.Aku hanya menaikan sebelah alisku melihat sikapnya.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Seperti yang kau tahu, aku harus memikirkan beberapa kali menerima ajakan untuk berteman. Untuk dekat dengannya saja sudah membuat jantungku gila. Aku hanya takut, aku bisa gila sungguhan jika aku berteman dengannya.
Tiba-tiba smartphoneku berbunyi. Ku ambil dan ku lirik smartphoneku.
Nomor tidak dikenal.
Ku tatap pria di depanku dan memberi isyarat padanya untuk mengangkat panggilan smartphoneku. Ia hanya mengangguk sambil terus tersenyum manis padaku.
"Ha-hallo?" Sapaku pada seseorang disana.
"Hei, are you Veera, aren't you?" Ucapnya.
Tunggu, aku kenal suara ini. Tapi aku lupa pemilik suara ini.
"Yes, I am. Who is there?"
"You forget about me, huh?" Kesalnya.
"Wait, I really don't know who you are. This number is unknown on my smartphone." Ucapku karna memang aku tidak tahu siapa pemilik nomor itu.
"Oh please, Violyn Alveera Lacerta, apa kamu lupa dengan Selena Adkia Spica?" Tegasnya.
Selena Adkia Spica? Tunggu, aku ingat sesuatu, tapi aku lupa bagian ini.
"Kenapa kamu diam? Oh ayolah ra, masa iya kau melupakanku? Okay, kalau begitu kita harus bertemu. Kita akan bertemu hari ini di............rumahmu." ucapnya langsung memutuskan sambungan.
"Tu-tunggu!" Ucapku setengah berteriak.
Rumahku? Apa dia tahu rumahku? Bagaimana dia tahu? Lagipula, siapa dia? Aaaarrgghhhh, aku penasaran.
Aku begitu penasaran pada penelpon itu, hingga aku lupa salam perkenalan Ello yang sedari tadi duduk di bangku taman itu.
Aku memberikan senyum simpul singkat padanya dan bergegas merapihkan barang-barangku. Niatku yang ingin meninggalkannya terurung ketika ia menahan pergelangan tanganku erat. Aku menoleh ke arahnya dan memasangkan ekspresi bingung.
"Sebegitu jauhkah aku ingin berteman denganmu?" lirihnya.
Aku terhenyak. Bagaimana ini, aku belum bisa mempercayainya untuk menjadi temanku. Mata kita berdua bertemu, sekali lagi dengan tidak sengaja. Mata abu-abu teduhnya kini menghipnotisku, lagi. Ku lihat tatapan tulus disana. Oh, ayolah. Kita belum kenal lebih dari seminggu dan dia sudah membuat kinerja organ tubuhku berantakan. Haruskah aku menerima dia menjadi temanku?
"Hei, apa kau benar-benar tuli? Apa aku begitu jauh denganmu sehingga aku tidak bisa menggapaimu? Ayolah tidak ada yang tidak bisa digapai. Aku hanya butuh teman, tidak ada yang bisa ku percaya disini, kecuali kau. Aku merasa risih jika melihat beberapa murid disini menatapku dengan tatapan memuja, aku benci diperhatikan. Ayolah, aku tahu kau sama sepertiku." ungkapnya.
Okay, aku membenarkan beberapa pernyataan yang ia utarakan. Aku sama seperti dirinya yang benci menjadi pusat perhatian. Oke, mungkin dia yang sengaja agar sikap kita terlihat sama.
Aku berpikir sejenak untuk mempertimbangkan semuanya. Mungkin sudah saatnya aku sedikit terbuka dengan orang lain. INGAT, SEDIKIT. Tapi tak menutup kemungkinan untukku yang akan membatasi diri. Apa alasan ketiga ku untuk tidak ingin mengenal pria harus aku ingkari. Toh, aku rasa dia kesepian dan benar-benar tak mempunyai teman. Ah lihat, dia baru saja mengkontaminasikan diriku yang sebelumnya tidak ingin berhubungan dengan yang namanya pria. Sudahlah, aku tak ingin ambil pusing. Lagipula jika aku tolak pun dia pasti akan bersikeras memohon lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Violyn's Guitar
Teen FictionViolyn Alveera Lacerta. Nama yang indah sekaligus aneh bagiku. Entahlah, mengapa ayah memberiku nama itu. Violyn? Violin? Biola? Ah, bahkan sampai sekarang aku belum bisa memainkannya. Jangankan memainkannya, menyentuhnya pun sudah sejak lama tak ku...