Titik-titik air kini terus berjatuhan. Hujan yang tiba-tiba kupikir, seperti paham betul pikiran yang sedang berkecamuk dalam diriku. Sebuah pemikiran tentang alasan Sax yang muncul di hadapanku lagi. Hawa dingin menusuk kulitku menemani keheningan yang sedari tadi menyelimuti kami dalam mobil ini. Ya, aku dan Ello. Sejak pertemuanku dengan Sax beberapa saat lalu, Ello diam tak bergeming.Mungkin ia marah karna mengetahui sebelumnya aku kabur untuk menghindarinya. Tapi aku heran, kenapa dia harus marah? Biasanya, ku maki-maki sambil ku siksa dia, tak membuatnya se-bungkam ini.
Tak juga ia menanyakan sesuatu yang mungkin saja mengusiknya. Kukira dia akan penasaran siapa sosok pria yang sebelumnya aku temui. Tapi ternyata tidak, ia tetap diam seribu bahasa. Padahal dia sudah memberikan gelombang kejut pada jantungku tadi. Untung saja bintang baru tidak muncul. Enak saja memanggilku dengan sebutan 'sayang'. Atau jangan-jangan, dia cemburu. What?! That's impossible! Oke, pikiranku mulai aneh.
Mana mungkin ia cemburu, memangnya siapa aku? Kami hanya sebatas tetangga satu komplek, meski aku tidak tau pasti sebelah mana rumahnya. Tapi sejak kejadian tadi, ia terus bungkam tanpa mau sedikitpun berusaha berbicara padaku. Diamnya Ello membuatku bingung.
-Flashback on-
"Terimakasih, atas bantuan--.............SAX?!" pekikku kaget.
"Hai cengeng. Long time no see."
Mataku membulat sempurna ketika melihat sosok pria di depanku ini. Sax, teman kecil yang paling tengil. Kau ingat? Ceritaku tentang dia yang sering mengusiliku. Tapi aku bersyukur selanjutnya dia yang kena omelan Adva. Saat itu Adva datang tepat pada waktunya. Sayangnya, tidak sekarang dan aku butuh dia. Oh Adva, please comeback.
"Do you miss me? Let me hug you." ujarnya santai sambil merentangkan tangannya lebar-lebar.
Aku masih diam tak bergeming. Tak juga berniat untuk meresponnya. Miris melihatnya. Percaya diri sekali aku akan jatuh di pelukannya. Jangan harap aku merindukannya. Aku merindukan Adva, bukan dia.
"Oh, see. You never change. I come back to see my childhood friend. But now, she ignores me. Poor me." Sax mengelus-elus dadanya seolah mendramatsir.
Beberapa detik kemudian, kulihat dia menatapku intens. Sebuah seringai yang tak ku ketahui artinya tercetak samar dari sudut bibirnya. Entah apa yang ia pikirkan. Semoga saja ia tak mempunyai niat jahat padaku. Semoga.
"Kamu tidak banyak berubah, tetap menggemaskan seperti dulu. Aku tahu, kamu pasti mengira aku mempunyai niat jahat padamu. Semoga saja tidak. Tapi aku memang tidak mempunyai niat jahat padamu. Jangan berpikiran aneh-aneh tentangku. Aku sudah banyak berubah." jelasnya panjang lebar. Maunya sih seperti itu, tapi mau gimana lagi. Ia terlalu sering jahil dan membuatku menangis dulu. Mungkin karna itulah aku mengalami Sax-phobia, mungkin.
"Don't distrub me. I want to go home." Akhirnya aku angkat suara, meski kedengarannya sedikit dingin.
"Mau bareng?" tanyanya lengkap dengan senyum sok manisnya. Aku menggeleng. Huh ! Ingin rasanya aku benturkan kepalanya pada gerbang. Jelas-jelas aku tidak mau !
"Kamu menolak ajakanku? Wah-wah, orang tampan sepertiku tidak menerima penolakan loh. Ayo ikut aku !" tandasnya. Ia meraih pergelangan tanganku dan menarikku. Serius, aku tidak mau ! Aku benci dia. Aku benci ! Satu pemikiran yang terlintas dibenakku sekarang. Adva, dimana kamu? Tolong aku.
"Lepaskan dia !"" teriak seseorang dibelakangku. Aku tahu suara itu. Sax melepaskan cengkramannya dan mengernyit heran ke arah Ello. Melihat kesempatan ini, buru-buru aku menjauhi Sax dan bersembunyi dibelakang punggung Ello. "Al, dari mana saja kau sayang? Aku mencarimu kemana-mana. Ayo kita pulang." sambung Ello sambil menggenggam telapak tanganku dengan erat, lalu berjalan menjauhi Sax yang masih tidak bergeming. Apa-apaan kata-katanya. Itu mulut ingin rasanya aku sumpal dengan planet Jupiter. Seenaknya saja memanggilku dengan sebutan sayang. Kalau ada anak sekolah ini dengar, bahaya tau! Hrrrrrrrrrrr. Tapi tak apalah, toh kata-katanya sukses menghentikan pergerakan Sax yang menakutkan itu. Aku toleransi kali ini. Tapi.... Hai jantungku, apa kabar?
KAMU SEDANG MEMBACA
Violyn's Guitar
Teen FictionViolyn Alveera Lacerta. Nama yang indah sekaligus aneh bagiku. Entahlah, mengapa ayah memberiku nama itu. Violyn? Violin? Biola? Ah, bahkan sampai sekarang aku belum bisa memainkannya. Jangankan memainkannya, menyentuhnya pun sudah sejak lama tak ku...