Angin berhembus dingin menusuk kulitku. Jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam dan aku masih terjaga. Tak berniat juga untuk tidur cepat. Aku duduk dikursi balkon kamarku sambil menelisik paket kubus berwarna coklat yang tadi siang sampai. Sayang, minatku untuk membuka paket ini, kandas begitu saja.Pikiranku masih kalut tentang apa yang terjadi beberapa saat lalu.
Tentang janji ayah yang ayah ingkari. Oke, mungkin sejauh ini ayah belum mengingkarinya. Karena pertemuan tadi hanya awal perkenalan saja. Tapi tetap saja, mengetahui bahwa perjodohan ini sudah didepan mataku, rasanya sulit ku percaya.
Hatiku berontak mengetahui kenyataannya bahwa Sax lah yang dijodohkan denganku. Rasanya semua ini sulit aku terima. Apalagi saat aku melihat Ello yang saat itu hanya bisa diam, membuat hatiku sakit. Entah kenapa hatiku tak rela melihat Ello diam saja tanpa perlawanan.
Ello? Aku saja tak paham dengan keadaan ini. Mengapa hatiku begitu sakit ketika melihatnya hanya diam? Apa membuka hati untuk seseorang sesakit ini?
Ku letakan kembali paket itu diatas nakas, lalu kembali menuju balkon. Pandanganku beralih pada langit diatasku yang dipenuhi banyak bintang. Di sebelah barat daya kulihat rasi Orion terpapar jelas. Bintang yang bersinar terang di rasi itu, bintang Betelgeuse. Bintang yang berada di sudut deklinasi 7° 24' 25". Bintang berwarna merah yang termasuk ke dalam kelas spektrum M. Memiliki suhu antara 2500 - 3000°K. Bintang yang sekarang memberi sinar hatiku. Entah itu sinar gelap atau pun terang. Aku tak tahu pasti, semua masih abu-abu.
Sebuah notifikasi LINE muncul begitu saja dari ponselku. Dengan enggan, aku buka pesan itu.
Selena A. Spica = Hey? Are you there? Do you miss me? Hahaha. If you don't, but I do. Reply my message, say something, please😉
Aku tersenyum getir. Lucu sekali sikapku ini. Uring-uringan tak jelas sampai selarut ini. Bahkan aku lupa membalas pesan dari sahabatku. Ingin rasanya ku balas pesan itu. Tapi entah kenapa rasanya tanganku berat untuk mengetiknya. Moodku hilang sudah. Akhirnya aku meletakan kembali ponsel itu di meja ujung balkon dan melanjutkan kegiatanku sebelumnya.
Pintu kamarku terbuka. Aku menoleh ke sumber suara. Tapi sedetik kemudian, langsung kualihkan pandanganku ke langit lagi. Kak Babas masuk ke dalam kamarku. Ia menghampiriku dan langsung memelukku.
Awalnya aku hanya diam tak membalas pelukan kak Babas. Tapi air mataku yang sudah tidak bisa terbendung lagi pecah begitu saja. Seketika aku menghambur di pelukan kak Babas.
"Kenapa belum tidur? Masih pikirin kejadian tadi?" tanya kak Babas lembut. Aku hanya menggeleng tak mampu bersuara.
"Ssstt... Udah jangan nangis, kakak sedih lihatnya." Kak Babas mengusap-usap punggungku lembut.
"Jangan terlalu dipikirkan, Ra. Tugas kamu sekarang belajar yang rajin. Katanya kamu mau jadi dokter atau astronot. Jangan sedih gitu dong. Tadi hanya perkenalan kan? Berarti Ayah akan menepati janjinya." lanjutnya.
Aku malah makin terisak. "Ra..hiks.. Rara gak mau dijodohin kayak gini kak.. hiks.." ucapku sambil menangis tersedu-sedu.
"Ssshh.. Jangan terus-menerus nangis gini dong. Hati kakak jadi sakit tau, dengernya." Aku hanya diam tak menanggapi ucapan kak Babas. Ia terus menenangkanku. Mengelus puncak kepalaku dengan sayang.
"Lagipula yang dijodohkan sama om Ernest, Sax kan? Harusnya kamu seneng dong. Katanya kamu benci banget sama Ello." Mendengar itu, tangisku pecah sejadi-jadinya di pelukan kak Babas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Violyn's Guitar
Teen FictionViolyn Alveera Lacerta. Nama yang indah sekaligus aneh bagiku. Entahlah, mengapa ayah memberiku nama itu. Violyn? Violin? Biola? Ah, bahkan sampai sekarang aku belum bisa memainkannya. Jangankan memainkannya, menyentuhnya pun sudah sejak lama tak ku...