Deretan mobil yang semakin padat membuat jalanan ibukota terlihat seperti lautan mesin bermotor. Suara bising klakson sahut menyahut memperingatkan mobil di depannya. Tak jarang pedagang asongan berkeliling ikut serta mencuri kesempatan untuk mengais rezeki dengan berjualan minuman dingin. Disinilah aku. Menunduk menatap jendela sambil men-scrolling ponselku, meskipun tak minat ku lihat. Mengingat kejadian sebelumnya terjadi di depan gerbang sekolah membuat diriku diam seribu bahasa. Tentu saja aku diam. Di mobil ini, hanya ada aku dan pria yang membuatku diam sejak tadi, Ello. Mungkin jika Ello berkonsentrasi berkendara, aku pasti tidak akan menunduk seperti ini. Pasalnya, ia terus menoleh ke arahku dan selalu terkekeh setelahnya. Apa detak jantungku terdengar? Oh, itu hal yang tidak mungkin. Hanya aku yang mengetahui kecepatan debar jantungku ini. Kalau saja ada polisi jantung, pasti aku sudah terkena tilang. Atau, kalau saja ada alat pendeteksi jantung di mobil ini, mungkin alat itu akan menunjukan ketidakwajaran detak jantungku dan membuatku menjadi manusia pertama yang memiliki detakan jantung melewati batas.
Ditengah kemacetan ini, Ello mengambil kesempatan dengan terus memandangku. Ini menyebalkan. Ia seperti menganggap aku seolah lelucon yang tak habis membuatnya tertawa. Ingin rasanya aku mencubit perutnya dan menolehkan tatapannya dari arahku ke depan kaca mobil dihadapannya. Keinginan itu kuurungkan. Ya, masih dengan alasan menyebalkan sebelumnya.
"Tolong berkonsentrasilah berkendara! Jangan terus menatapku!" ketusku yang masih menunduk memainkan ponselku. Ia malah tertawa dan tidak melakukan apa yang aku perintahkan.
"Heh ! Kau pasti punya telinga! Jadi jangan tatap ak-"
"Aku tidak menatapmu, bodoh. Aku sedang melihat anak kecil menggemaskan itu. Di luar kaca jendelamu itu. PD sekali kamu!" tukasnya. Aku menoleh ke arahnya dan benar saja, dia tidak menatapku. Ia menatap ke arah kaca jendela yang ada di sampingku.
"Jangan-jangan kamu mau aku pandangi terus ya?" godanya tersenyum sambil menaik turunkan alisnya. Senyuman itu lagi! Senyuman paling menyebalkan! Senyuman yang selalu bisa membuat jantungku tak karuan! Aku membuang pandanganku darinya. Ku telusuri pemandangan ibukota yang padat ini dari kaca jendela mobil Ello mencari keberadaan anak kecil itu. Tapi anehnya aku tidak dapat melihat anak kecil itu.
"Aku tidak melihat anak kecil itu."
"Ituuuu, dia didekat pohon itu." ucapnya sambil menunjuk-nunjuk ke luar jendela. Aku masih mencari anak kecil itu.
"Manaaa? Aku tidak melihatnya! Kau pasti berbohong." cibirku masih mencari keberadaan anak kecil itu. Aku yakin pasti dia berbohong. Karna geram akhirnya aku menyerah. Ku lemparkan tatapan sinisku padanya. Tapi--
CUP!
Sesuatu yang kenyal dan hangat itu mendarat di pipiku. Aku bisa merasakan hangatnya deru napas Ello di wajahku. Mungkin sekarang aku sudah siap di hidangkan. Karna aku yakin wajahku sekarang sudah seperti kepiting rebus. Kini jantungku seperti sedang mengikuti lomba pacuan kuda. Mungkin juga jika sekarang aku sedang berdiri, aku pasti tidak akan sanggup berdiri. Tulang-tulangku seakan meleleh seperti tulang Shinichi Kudo di serial 'Detective Conan'. Aaaaaaahhhhhhhh! Ada apa denganku ini?!
"Ups. Kena deh." ucapnya tanpa dosa. Ia menjauhkan jarak dan kembali ke posisinya. Aku hanya diam di tempat. Membeku seperti masuk kedalam frezzer yang tak bisa di buka lagi. "Hahahahahahah, lihat wajahmu ! Sudah siap disajikan sepertinya ! Hahahahahahah." tawanya pecah mengiringi rasa maluku yang tak bisa ku bendung lagi. Lagi-lagi, mungkin ini yang dinamakan awkward moment.
KAMU SEDANG MEMBACA
Violyn's Guitar
Teen FictionViolyn Alveera Lacerta. Nama yang indah sekaligus aneh bagiku. Entahlah, mengapa ayah memberiku nama itu. Violyn? Violin? Biola? Ah, bahkan sampai sekarang aku belum bisa memainkannya. Jangankan memainkannya, menyentuhnya pun sudah sejak lama tak ku...