13

120 5 3
                                    


Langit malam ibukota begitu cerah hari ini. Bulan purnama membulat sempurna dengan pancaran indah yang juga menyempurnakan malam ini. Berbagai bintang membentuk susunan rasi di sana. Kulihat ada rasi Orion, sang pemburu disana. Tentram hatiku saat melihat keagungan ciptaan sang pencipta semesta ini. Ku rebahkan tubuhku di sofabed yang ada di rooftop rumahku.


Masih kuingat jelas tentang memori masa kecilku bertemu dengan anak kecil bernama Adva, saat aku masih tinggal di Singapore. Selain Ica, aku juga mempunyai satu sahabat lagi. Aku, Ica dan Adva adalah sahabat kecil yang kini terpisah oleh jarak dan waktu. Kami sangat senang melihat langit malam, sampai-sampai kami tertawa dan menghempaskan tubuh kecil kami bertiga di halaman depan rumahku. Terlalu indah hamparan langit malam bertabur bintang tanpa polusi di langit Singapore kala itu. Meskipun kami sahabat, kami jarang sekali bermain bersama. Itu karna sebelum Adva pindah, Ica sering sekali sakit dan selalu check up ke dokter tiap harinya. Oleh karena itu, waktu bermain dengan kami selalu terpotong dengannya. Setidaknya kami masih bisa bermain dengan Ica walaupun hanya beberapa jam saja. Berbicara soal Adva, aku masih ingat wajah menggemaskan Adva. Ia selalu memakai topi dan enggan melepasnya meskipun didalam rumah. Ia bilang, topinya sangat berharga dan mempunyai banyak kenangan. Banyak yang berkata bahwa kami terlihat kembar. Tapi tubuh Adva terlalu kecil waktu itu, jadi beberapa orang menganggap kami adik kakak. Adva juga seorang gadis yang pandai bermain gitar, meski hanya petikan lagu anak-anak seperti Twinkle-twinkle little star, tapi itu sudah sangat keren menurutku yang tidak bisa bermain alat musik apa-apa saat itu.


Pernah suatu ketika, aku di jahili oleh anak laki-laki bernama Sax. Dia merebut jepit rambutku dan membuangnya ke gorong-gorong di komplek rumahku. Aku menangis. Adva yang melihatku langsung menghampiriku dan malah ikut menangis. Aku masih ingat ucapannya saat itu 'Don't crying, sister. I'll be here with you.' sambil sesenggukan. Setelahnya, aku berhenti menangis dan memeluknya erat. Sayangnya pertemuan kami hanya berlangsung 1 bulan. Setelah itu aku tidak tahu menahu tentang keberadaan gadis kecil itu.


Sebenarnya sebelum Adva pergi, ia memberi gelang dari senar gitar yang ia buatkan khusus untukku. Aku sangat menyukai gelang buatannya itu, sayangnya aku lupa meletakannya di mana saat setelah keluargaku pindah ke Jakarta. Adva lah alasanku mengapa aku begitu mencintai permainan gitarku.


Aku sudah berusaha mencari informasi tentang keberadaan Adva. Tapi hasilnya selalu nihil dan tidak membuahkan hasil. Entahlah, apa Adva juga pernah mencariku? Aku penasaran. Mataku tertuju pada gitar putih yang ada di samping nakas. Aku bangkit dan mengambil gitar itu, kemudian memposisikan tubuhku lagi seperti semula di sofabed ini.


"Twinkle... Twinkle.... Little... Stars..." mulai ku petik senar gitarku dan memainkan lagu masa kecilku yang juga mengingatkanku pada Adva. Ku nyanyikan lagu itu dengan petikan gitar yang melengkapi malam penuh bintang ini.


'How I wonder what you are.

Up above the world so high,

Like a diamond in the sky.

Twinkle, twinkle, little star

How I wonder what you are!


When the blazing sun is gone,

When there's nothing he shines upon,

Violyn's GuitarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang