empat: "Sebuah Rasa"

9.6K 852 75
                                    

SUARA yang terdengar di depan rumah Kirana begitu menghantui pikiran Reza saat ini. Semua sudut pikirannya hanya terisi oleh Kirana. Berbagai spekulasi pun turut datang bergerombol, saling mendesak untuk dijawab namun sang empu dari pemikiran tersebut pun tak tahu jawabannya.

Reza menyugar rambutnya ke belakang sembari mendudukan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia mengusap risau wajahnya kemudian memilih untuk menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah itu?

Bayang-bayang wajah Kirana yang jarang menampilkan sisi cerianya membuat otak Reza semakin keruh. Ini lah sebab semuanya, sebab kemurungan cewek berparas Salma itu. Kini Reza tahu apa perbedaan dari dua gadis itu. Kirana tak seberuntung Salma dalam hubungan keluarga.

Menghela napas kasar, pada akhirnya Reza memilih bangkit kemudian mengeluarkan laptop dari laci meja belajarnya. Ia ingin melakukan investigasi tentang semua ini. Setidaknya, ia harus mengenal Kirana.

Ha, rasanya Reza ingin terbahak sekarang. Setelah Salma pergi, untuk berbincang dengan teman ceweknya saja Reza sangat malas namun sekarang? Ia kini begitu fokus menekan shortcut Mozilla Firefox di dekstop, menunggu menu utama dari mesin pencari kemudian dengan riang jarinya bergerak lihai mengetik nama lengkap Kirana.

Kirana Amalia.

Bahkan namanya kini terpatri di dalam kepalanya. Ugh, bagaimana bisa seseorang dapat memasuki hidupmu begitu saja kemudian langsung membuat dirimu begitu kacau?

Tak lama, beberapa akun media sosial milik cewek itu akhirnya keluar. Dengan gesit, Reza mengklik satu persatu akun media sosial itu, mengorek segala informasi yang bisa ia tangkap kemudian dengan segera dituliskannya informasi itu ke dalam notes di ponsel pipihnya. Segala hal tak ada yang luput dari pandangannya bahkan hanya sebatas quotes pun akan Reza catat.

Dipandangnya beberapa quotes yang pernah Kirana torehkan di akun media sosialnya. Semua berceloteh tentang betapa sedihnya ia, tak ada satu pun kata bahagia. Bahkan sempat ada beberapa celetukan berisi emosi di salah satu akunnya. Satu kesimpulan yang Reza buat adalah Kirana tak memiliki hubungan pertemanan yang baik dengan teman-temannya. Semua terlihat begitu saja dari kata-kata kasar yang teman-temannya torehkan di akun twitter. Ck, pelaku cyberbullying yang tak punya otak.

Namun, di antara beratus-ratus kalimat yang ia lihat hari ini, ada satu quotes yang begitu membuat lubuk terdalam hatinya berdenyut menyakitkan.

"Sometimes, I just look at all of those shows with 'happy families' and wonder if they really exist..."

Hatinya masih berdenyut, darahnya berdesir dan bisa ia rasakan bulu kuduknya meremang. Kalimat tersebut begitu sarat akan kepiluan, kesedihan yang terpanggul begitu berat, kekelabuan yang begitu kelam. Kirana tak baik-baik saja. Hatinya kian tersentil ketika otaknya mendeklarasikan hal tersebut. Sudah sepatutnya semua orang merangkul gadis tersebut, menyemangati hidupnya.

"Kirana Amalia, hm, itu orang yang mirip sama Salma?"

Reza berjengit kaget hingga punggungnya menabrak dinding di samping tempat tidurnya. Nyaris saja laptop kesayangannya yang telah ia tempel dengan stiker-stiker band favoritnya itu terhempas ke lantai jika Gege tak menyelamatkan laptop malang itu dengan kedua tangannya. "Woles, Ja. Ini gue bukan setan," ucap Gege kemudian diakhiri dengan cengiran.

"Lo ngagetin gue, Pe'a. Kaget gue."

"Lagian gue udah lima menit berdiri di depan kamar lo tapi lo ngga nyambut kedatangan gue sebagaimana mestinya. Kasih makan, kek. Kasih minum, kasih duit, kasih hape, kasih kasih sayang, gitu."

Reza memutar bola matanya jengah. "Fakir kasih sayang ya lo?"

"Ngga, cuman lagi butuh aja."

"Sama aja, Vivi."

Gege menampilkan raut cemberutnya. Dia paling tak suka dipanggil Vivi namun apa daya, kelima temannya terlalu bengal untuk menuruti permintaannya yang satu itu. Gege pun akhirnya menduduki sisi lain kasur kemudian menginvasi laptop milik Reza sementara Reza sibuk berkelana di alam pikirannya. Semua pikirannya tertuju oleh cewek itu.

"Lo abis ngestalk Kirana?" Alis Gege tertaut dengan wajah tak percayanya. Sudah pernah dia bilang, kan, kalau Reza tak begitu peduli dengan para teman ceweknya?

"Hm, ya gitu deh."

Gege menyipitkan matanya ditambah oleh lengkungan tertarik ke atas bibirnya, dia menatap penuh selidik dengan wajah konyol khas seorang Gege ke arah Reza yang membuang wajahnya. "Akhirnya time capsule lo terlaksana ya, Ja?"

Terdengar helaan napas berat yang mencelos dari bibir Reza. Wajahnya kembali muram, mengingat isi time capsulenya sontak membuat dirinya mendapatkan perubahan mood yang drastis. Kenangan demi kenangan mulai menyapu habis pemikirannya tentang Kirana dan berganti oleh wujud Salma walaupun wajah mereka seakan tak terganti.

"Gue belum bisa lihat Kirana sebagai Kirana, Ge. Saat ini dan entah sampai kapan, yang gue lihat adalah Salma, Salma yang gue cintai. Namun sayang, dia pergi karena gue."

***

Apa yang telah Kirana perbuat di kehidupan lamanya hingga menjadikan dirinya begitu mengenaskan saat ini?

Pertanyaan itu terus mengalir dan terombang-ambing di pikirannya. Apa dia pernah membunuh orang sebelumnya? Atau, mungkin dia pernah melakukan kesalahan fatal yang tak dapat dimaafkan?

Apa yang membuat dirinya begitu mengenaskan saat ini?

Letupan-letupan emosi di bawah sana masih terdengar meskipun headsetnya telah mengumandangkan lagu favoritnya dengan volume terbesar. Masih bisa ia dengar dengan jelas isi percekcokan antara Adam dan Cakra, kedua abangnya yang saling tak akur akibat dirinya.

Adam, abang tertuanya selalu membela Kirana. Menyayangi cewek itu dengan segenap jiwanya sehingga menjadikan Adam alasan hidup untuk Kirana. Setidaknya, dari empat orang di rumah ini, ada satu orang yang begitu membelanya hingga tak masalah harus bermusuhan dengan saudara kandungnya sendiri.

Dahulu, Adam dan Cakra bagaikan saudara kembar. Kemana-mana selalu bersama, begitu akur walaupun kadang ada pertengkaran. Namun sekarang? Hah, untuk duduk bersama di dalam satu ruangan pun mereka tak akan sanggup. Terkadang Kirana heran mengapa Adam begitu membela dirinya yang notabene bukan saudara kandungnya.

"Kenapa lo selalu belain adek kita yang merupakan hasil dari kemurahan Mama sama pria lain dibandingkan sama gue, adek kandung lo yang sedarah ayah dan ibu?!"

Ada kesesakan yang begitu menyekik tubuhnya saat mendengar kalimat raungan Cakra kemudian disusul oleh tamparan kencang memekakan telinga. Itu adalah pertanyaan yang selalu Kirana pikirkan setiap malam. Kenapa Adam begitu membelanya? Kenapa Adam tak bertindak sama saja seperti Cakra agar ia tak memiliki alasan untuk hidup dan bisa mengakhiri hidupnya kapan saja?

"Those words cut deep but they don't mean you're all alone."

Lantunan lagu favoritnya masih berlanjut. Kirana menyelundupkan kepalanya di atas lipatan tangannya. Suara-suara di bawah telah teredam setelah ada gebrakan pintu tertutup di bawah sana. Kini, suara dari Hunter Hayes mulai mengalun menyemangati hidupnya.

"Hear me out, there's so much more to life than what you're feeling now and someday you'll back on all these days and all this pain is gonna be invisible. It'll be invisible."

Kirana mulai meneteskan air matanya. Ia selalu begitu emosional ketika mendengar lagu ini, seperti mendengar sebuah wejangan atau pepatah dari para sesepuh tentang kehidupan. Entah sejak kapan lagu ini bagaikan candu, penyemangatnya di setiap hari namun itu semua bukan karena ia menyukai Hunter Hayes dan bukan pula karena suara dari artis tersebut.

Ini semua tentang liriknya dan ia selalu mendamba kapan hari yang penyanyi itu maksud menjumpai dirinya.

TCP [1] : "Rebound"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang